Langsung ke konten utama

INTERAKSI GURU DENGAN MURID (Tafsir Surat al-Kahfi Ayat 60-64)



A. PENDAHULUAN

Al-Qur’an sebagai sumber sumber pemikiran Islam yang banyak memberikan inspirasi edukatif yang perlu dikembangkan secara filosofis maupun ilmiah. Pengembangan demikian deperlukan sebagai kerangka dasar dalam membangun sistem pendidikan Islam.[1] Telah banyak jara para mufassir untuk menguraikan kehendak Ilahi pada teks-teks suci, dengan berbagai corak pendekatan dan aliran penafsiran yang mereka lakukan.[2]

Di antara metode yang digunakan oleh al-Qur’an untuk memberiri pelajaran bagi manusia adalah dengan menguraikan peristiwa-peristiwa pada masa lalu dalam bentuk berbagai kisah-kisah.[3]

Sebagaimana Firman Allah SWT.

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَاَهُمْ بِالْحَقِّۗ اِنَّهُمْ فِتْيَةٌ اٰمَنُوْا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنٰهُمْ هُدًىۖ

Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka dalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (Q.S al-Kahfi 18:13)

Berpijak dari hal tersebut, perlu kiranya teks sejarah ditarik pada dunia pendidikan saat ini. Salah satu kisah yang menggambarkan interaksi pendidikan adlah Surat al-Kahfi ayat 60-64. Ayat-ayat yang terdapat dalam surat al-Kahfi ini merupakan lanjutan cerita dari ayat sebelumnya. Dalam ayat-ayat surat al-Kahfi ini diceritakan secara jelas proses pencarian ilmu Nabi Musa AS yang berguru pada Khidir AS. Di sinilah terjadi proses interaksi atau hubungan antara Musa AS sebagai implementasi dalam dunia pendidikan Islam Modern.

 

B.                 B.PEMBAHASAN

1.      Tulisan Surah al-Kahfi Ayat 60-64 dan Terjemahannya

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا (٦٠) فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا (٦١) فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (٦٢) قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا (٦٣) قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا (٦٤)                                                                                  

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.” (61) Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lupa ikannya, lalu (ikan) itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. (62) Maka ketika mereka telah melewati (tempat itu), Musa berkata kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita; sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (63) Muridnya menjawab, “Tahukah engkau ketika kita mecari tempat berlindung di batu tadi, maka aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk mengingatnya kecuali setan, dan (ikan) itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.” (64) Musa berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.

 

 

2.      Istilah Penting dalam Surah al-Kahfi Ayat 60-64

 

Dalam al-Qur’an Transliterasi perkata dan terjemah perkata arti mufradzat dati ayat ini adalah sebagai berikut:[4]

 

Pemuda                                                                                                   فَتَى

Quraish Shihab menjelaskan tentang kata ini bahwa masyarakat jahiliyah menamakan budak- budak pria mereka ‘abd. Rasul melarang menggunakan istilah itu dan mngajarnya agar menamai fatâ. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa seseorang betapapun keadaannya harus diperlakukan sebaik mungkin sebagaimana layaknya manusia.

Pertemuan dua laut                                                                            مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ

Dalam tafsir al- Azhar diterangkan menurut qatadah, pertemuan antara dua laut itu ialah lautan Persia disebelah timur dan lautan di sebelah barat.

(sampai) bertahun- tahun                                                                         حُقُبًا      

Sayyid Qutub menjelaskan bahwa kata huquba disini digunakan untuk menyatakan satu atau delapan puluh tahun. Itu menunjukan tentang cita- cita yang kuat, bukan keterangan waktu secara khusus.

Mereka lupa ikannya                                                                    نَسِيَا حُوْتَهُمَا       

Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa pembantu Nabi Musa as. lupa membawanya setelah istirahatdi suatu tempat, dan nabi Musa sendiri lupa mengingatkan pembantunya. Ada juga yang berpendapat bahwa pembantunya itu lupa menceritakan ihwal ikan yang dilihatnya mencebur dilaut.

Dengan melompat                                                                                     سَرَبًا     

Kata saraban terambi dari kata sarb yang pada mulanya berarti lubang atau jurang yang sangat dalam dibawah tanah.

(dengan cara yang) aneh sekali                                                                عَجَبًا     

Ada yang memahaminya dalam arti cara ikan itu menuju kelaut dan keadaannya di sana sungguh mengherankan. Ada juga yang memahaminya dalam arti keheranaan pembantu Nabi Musa bagaimana ia bisa menyampaikan kisah ikan itu.

 (dengan) membelah (melalui laut)                                                          قَصَصًا

Qashashan terambil dari kata qashsha yang berarti mengikuti jejak.

 

3.      Asbabun Nuzul Surah al-Kahfi ayat 60-64

 

Asbabun Nuzul (al-kahfi: 60-62). Ayat ini turun berkaitan dengan teguran Allah kepada Rasulullah karena kesedianya terhadap sikap pemuda-pemuda quraish dan sebagai peringatan agar apabila berjanji hendaknya selalu mengucapkan insyaallah. Dalam suatu riwayat diterangkan bahwa para pemuda quraish mencoba menguji nabi dengan mengajukan beberapa pertanyaan yg apabila rasul dapat menjawabnya, maka mereka akan yakin kalau muhammad itu benar-benar seorang nabi, namun jikka tidak, berarti muhammad benar-benar pendusta. Atas pertanyaan tersebut, beliau menyatakan, “ Aku akan menjawab tentang hal-hal yang kalian tanyakan”. Tanpa diiringi ucapan insyaallah. Setelah itu rasulpun menantikan turunnya wahyu hingga 40 hari lamanya. Selama itu pula Jibril tak kunjung sehingga membuat Nabi resah. Dalam kondisi seperti itulah Jibril datang seraya membawa surah al- kahfi.[5]

Latar belakang Nabi Musa mencari Nabi Khidir adalah Pada suatu hari Nabi Musa ditanya salah seorang Bani Isra’il, ”adakah di dunia ini yang jauh lebih alim dari anda? Musapun menjawab,” tidak ada. Atas jawaban itulah Allah menegur Nabi Musa seraya menginformasikan kepadanya bahwa Allah mempunyai seorang hamba yang jauh lebih alim dari Nabi Musa dan ia berada di pertemuan dua lautan. Peristiwa ini menjadi teguran buat siapa saja yang terlalu membanggakan spesialisasi ilmu yang dimilikinya, sehingga ia cenderung menganggap bahwa spesifikasi imunya itulah yang paling tepat untuk memecahkan problem yang dihadapi masyarakat.

 

4.      Penjelasan (Tafsiran ayat)

a.      Qs. Al-Kahfi ayat 60

Pada ayat ini menjelaskan tentang Nabi Musa as. Melaksanakan perintah Allah SWT. Yaitu untuk mencari guru itu. Nabi Musa as. Berjalan meninggalkan kampung diiringi oleh seorang anak muda [6] yang selalu menjadi pengawal atau pengiringnya kemana dia pergi. Maka setelah lama berjalan belum sampai juga pada yang dituju, tempat pertemuan dua lautan berkatalah Musa pada orang mudanya itu bahwa perjalanan ini akan beliau teruskan, terus berjalan dan baru dia akan berhenti apabila ia telah sampai di ats pertemuan dua laut itu. “atau aku akan berjalan bertahun-tahun” (akhir ayat 60).

Artinya, beliau akan terus berjalan, dan berjalan terus sampai bertemu tempat yang dituju. Jika belum bertemu, beliau masih bersedia melanjutkan perjalanan, mencari guru itu.[7]

Kalau sebelum ini Allah SWT. memerintahkan Nabi Muhammad SAW. untuk mengingat dan mengingatkan kisah Adam as. dan Iblis, maka disini Allah berfirman bahwa: dan ingatlah serta ingatkan pula peristiwa ketika Nabi Musa putra Imran berkata kepada pembatu dan muridnya, “aku tidak akan berhenti berjalan hingga sampai kepertemuan dua laut, atau aku akan berjalan sampai bertahun- tahun tanpa henti”.

Menurut Quraish Shihab dalam tafsir al- Misbah ayat ini tidak menjelaskan di mana   (مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ)pertemuan dua laut. Sementara ulama berpendapat bahwa tempat tersebut berada di Afrika (maksudnya Tunis sekarang). Sayyid Quthub menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa tempat tersebut adalah laut Merah dan laut Putih. Sedangkan tempat pertemuan itu adalah danau Timsah dan danau Murrah, yang kini menjdi wilayah Mesir atau pada pertemuan antara Teluk Aqabah dan Suez di Laut Merah.

Kata  حُقُبًاhuquban adalah bentuk jamak dari kata  أَحْقَابَahqôba. Kata huquban disini ada yang berpendapat bahwa kata tersebut bermakna setahun, ada juga yang berkata tujuh puluh tahun, atau delapan puluh tahun atau lebih, atau sepanjang masa. Apapun maknanya yang jelas ucapan Nabi Musa as. Di atas menunjukan tekadnya yang demikian kuat untuk bertemu dan belajar pada hamba Allah SWT. yang saleh itu.[8]

Dalam ayat ini, Allah Swt. menceritakan betapa gigihnya tekad Nabi Musa as. untuk sampai ke tempat bertemunya dua laut. Beberapa tahun dan sampai kapanpun perjalanan itu harus ditempuh, tidak menjadi soal baginya, asal tempat itu ditemukan dan yang dicari didapatkan. Penyebab Nabi Musa as. begitu gigih untuk mencari tempat itu adalah beliau mendapat teguran dan perintah dari Allah Swt. seperti dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari ubay bin Ka’ab.[9]

b.       Qs. Al-Kahfi ayat 61

Tersebutlah dalam beberapa tafsir bahwa sesampainya didekat pertemuan dua laut itu merekapun menghentikan perjalanan, dan Musapun tertidur karena sangat lelah. Yusa’ merasa penat dan berlepas lelah pula.Ikan yang ada dalam jinjingan yang dibawa oleh Yusya’ tiba- tiba dengan tidak disangka- sangka ikan yang ada dalam jinjingan itu, ikan asin dalam salah satu tafsir, ikan panggang dalam tafsir lain, melompat dari dalam jinjingan. Dia hidup kembali. “maka ikan itupun mengambil jalannya menembus ke laut” (ujung ayat 61).

Menurut riwayat Qatadah, petemuan diantara dua laut itu ialah lautan Persia di sebelah Timur dan lautan di sebelah Barat. Muhammad bin Ka’ab al- Qurazhi mengatakan bahwa pertemuan dua laut itu adalah di Thanjah (Tangger). Tetapi yang lebih besar kemungkinannya ialah pertemuan laut Rum dan Laut Qulzum, tegasnya pertemuan lautan Putih dengan lautan Merah. Pertemuan keduannya ialah di Lautan Murrah dan lautan Buaya. Dan lebih dekat lagi ialah pertemuan diantara dua Zuis dan Teluk Akabah di lautan Merah. Sebab dipertemuan teluk inilah peredaran sejarah Bani Isra’il sesudah mereka keluar Mesir. Disini juga kawasan yang disebut Daratan Sinai.[10]

Alangkah serasinya penetapan waktu dan tempat pertemuan kedua tokoh itu dengan pertemuan dua laut yakni laut air dan laut ilmu, dan dengan berbekal ikan yang dinamai oleh al- Qur’an Nun serta digunakan- Nya untuk bersumpah bersama dengan pena dan apa yang ditulisnya. (QS. Nun/ Al- Qalam (68): 1). Pendapat ulama berbeda- beda mengenai makna  نَسِيَا حُوْتَهُمَا     nasiyâ hûtahumâ / niscaya mereka berdua lupa akan ikan mereka ada yang berpendapat bahwa pembantu Nabi Musa as. lupa membawa ikan tersebut setelah mereka beristirahat disuatu tempat, dan Nabi Musa as. sendiri lupa mengingatkan pembantunya. Ada juga yang berpendapat bahwa pembantunya lupa menceritakan ihwal ikan yang dilihatnya mencebur kelaut.[11]

Kata  (سَرَبَا)terambil dari kata  (سَرْبَ)yang pada mulanya berarti lubang atau jurang yang sangat dalam di bawah tanah. Ada yang memahaminya bahwa ikan itu menghilang dari pandangan sebagaimana seorang pejalan masuk ke jurang atau lubang trowongan sehingga tidak terlihat lagi. Ada juga yang memahaminya dalam arti supra rasional yakni bahwa air dimana ikan itu berjalan terbelah sehingga membuat semacam trowongan, lalu Nabi Musa as. mengikuti jalan itu dan bertemu dengan hamba Allah SWT. yang dicarinya di tengah suatu pulau di laut itu. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibn ‘Asyur, tetapi ditolak oleh sekian banyak ulama yang cenderung memahami pertemuan kedua tokoh tersebut terjadi di Pantai.[12]

Dalam ayat ini, Allah SWT. menceritakan bahwa setelah Nabi Musa as. dan Yusa’ sampai keperemuan dua laut, mereka berhanti, tetapi tidak tahu bahwa tempat itulah yang harus dituju. Sebab Allah SWT. tidak memberi tahu dengan pasti tempat itu. Hanya saja Allah SWT. memberi petunjuk ketika ditanya oleh Nabi Musa as. sebelum berangkat, sebagaimana sabda rasulullah Saw. ketika menceritakan pertanyaan Nabi Musa as. itu.

Dalam tafsir lain diterangkan pula bahwa di atas sebuah batu besar di tempat itu, Nabi Musa as. dan Muridnya merasa mengantuk dan lelah. Keduannyapun tertidur dan lupa pada ikannya ketika itu, iakan yang ada dalam kampil tersebut hidup kembali dan menggelepar- gelepar, lalu keluar dan meluncur menuju laut. Padahal kampil waktu itu ada di tangan yusya’.

Kejadian ini, yaitu ikan mati menjadi hidup kembali, merupakan mukjizat bagi Nabi Musa as. setelah setelah bangun tidur, merekapun melanjutkan perjalanan. Yusha’ pun lupa tidak menceritakan kepada Nabi Musa as. tentang kejadian aneh itu, ikan yang sudah mati hidup kembali.[13]

 

c.        Qs. al –Kahfi ayat 62

Alangkah indah susunan bahasa Arab ini begitu pula artinya. Bawalah kepada kita, bukan bawalah kepadaku. Mari kita akan makan berdua. “sesungguhnya kita telah bertemu perjalanan ini penuh kepenatan” (ujung ayat 62). Penat, lelah dan lapar pula, mari makan dahulu.[14]

Perjalanan Nabi Musa as. dengan pembantunya itu agaknya sudah cukup jauh walau belum sampai sehari semalam, terbukti dari ayat ini bahwa mereka baru merasa lapar sehingga Nabi Musa as. minta untuk disiapkan bekal makanan mereka. Hal tersebut dapat ditarik dari kesan kata ini yang menunjuk ke perjalanan mereka.

Ayat tersebut melanjutkan kisahnya dengan menyatakan bahwa: mereka berdua meninggalkan tempat kediaman mereka, melakukan perjalanan dan mencari tokoh yang didambakan oleh Nabi Musa as. itu. Maka tatkala mereka berdua telah menjauh dari tempat yang seharusnya mereka tuju, berkatalah Musa as. kepada pembantunnya, “Bawalah kemari makanan kita, sungguh kita telah merasakan keletihan akibat perjalanan kita” pada kali ini atau hari ini.[15]

Ayat ini, Allah SWT. menceritakan bahwa keduanya terus melanjutkan perjalanan siang dan malam. Nabi Musa as. Merasa lapar dan berkata kepada muridnya, “bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan ini.” Perasaan lapar dan letih setelah melampaui tempat pertemuan dua laut itu ternyata mengandung hikmah, yaitu mengembalikan ingatan Nabi Musa as. Kepada ikan yang mereka bawa.

Dalam ayat ini Allah SWT. mengungkapkan betapa luhurnya budi pekerti Nabi Musa as. Dalam bersikap pada muridnya. Apa yang dibawa oleh muridnya sebagai bekal merupakan milik bersama, bukan hanya milik sendiri. Betapa halus perasaannya ketika menyadari bahwa letih dan lapar tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri tetapi juga dirasakan orang lain.[16]

 

d.       Qs. al-Kahfi ayat 63

Yusya’ bin Nun menjawab permintaan Musa: “tidaklah engkau perhatikan takkala kita berhenti di batu besar tadi” (ujung ayat 63). Ketika itu kita berhenti berlepas lelah. “Maka aku lupa ikan itu” lupa aku mengatakan kepada tuan apa yang terjadi. “Dan tidak ada yang melupakan daku mengingatnya selain syaitan jua” aku telah khilaf, aku telah lupa, syaitan telah telah menyebabkan daku lupa. Kata- kata seperti ini menurut susunan bahasa berarti mau bertanggung jawab. “Lalu dia mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh” (ujung ayat 63). Ikan asin yang telah mati, atau ikan panggang meluncur dari dalam jinjingan, merayap ke atas tanah lalu dengan cepat dia meluncur ke dalam laut dengan sangat menakjubkan.[17]

“Dia yakni pembantunya, berkata dengan menggambarkan keheranannya, “Tahukah engkau wahai guru yang mulia bahwa tatkala kita mencari tempat berlindung di Batu tadi, maka sesugguhnya aku lupa ikan itu dan tidak adalah menjadikan aku melupakan kecuali syaitan.” Pembantu Nabi Musa as. melanjutkan penjelasnnaya bahwa: “yang kumaksud adalah lupa untuk mengingat ihwal- nya, dan ia yakni ikan itu mengambil jalannya ke laut. Sungguh ajaib sekali, bagaimana aku lupa, atau sungguh ajaib sekali bagaimana dia bisa mencebur kelaut!”. musa berkata, “ itulah tempat atau tanda yang kita cari.” Lalu keduannya kembali, mengikuti jejak mereka semula.[18]

Firmannya  (اَنْ اَذْ كُرَه) an adzkurahu/ untuk mengingatnya untuk dipahami banyak ulama sebagai badal isytimal [19] yaitu suatu istilah tata bahasa Arab yang dalam konteks ayat ini, maksudnya serupa dengan kata (هُ)  hu/nya pengganti nama pada kata أنسانيه ansânîhu/ menjadikan aku melupakannya sehingga maknanya adalah “tidak ada yang menjadikan aku lupa menyebut ihwal ikan itu kecuali syaitan”. Dengan demikian, dia tidak melupakan ikan, tetapi melupakan ihwal atau peristiwa yang terjadi dengan ikan itu.

Ajaban/ ajaib ada yang memahami dalam arti keheranan pembantu Nabi Musa as. bagimana ia bisa lupa menyampaikan kisah ikan itu. Kemudian, adapula yang memahami dalam arti herannya meluncurnya ikan asin itu kedalam laut adalah (‘ajaiban) sesuatu yang ajaib.[20]

Dalam ayat ini Yusa’ menjawab secara jujur bahwa ketika mereka beristirahat dan beristirahat dan berlindung di batu tempat bertemunya dua laut, ikan itu telah hidup kembali dan menggelepar- gelepar, lalu masuk ke laut dengan cara yang sangat mengherankan. Namun, dia lupa tidak menceritakannya kepada Nabi Musa as. Kekhilafan ini bukan karena ia tidak bertanggung jawab, tetapi syetanlah yang menyebabkannya.[21]

 

e.        Qs. al-Kahfi ayat 64

Musa berkata: “Itulah dia yang kita kehendaki”. (pangkal ayat 64). Nabi Musa berkata dengan gembira, artinya ditempat meluncurnya ikan tersebutlah rupanya kita musti berhenti. Di sanalah pertemuan dua laut tersebut. “maka keduannyapun kembali” ketempat ikan tersebut. “mengikuti jejak mereka semula” (ujung ayat 64) artinya mereka kembali ketempat tadi, dengan melalui jejak- jejak mereka sendiri yang telah terkesan dipasir, sehingga mudah sampai sesaat.[22]

Kata qashashan terambil dari kata qashsha, qashasha yang berarti mengikuti jejak. Dari sini qishshah/ kisah dipahami dalam arti “Menyampaiakn serangkaian berita- yang sebenarnya atau fiksi- tahap demi tahap sesuai kronologis kejadiannya, bagaikan seorang yang mengikuti jejak kejadian itu langkah demi langkah. Nabi Musa as. dalam hal ini kembali ketempat semula mengikuti rute perjalanannya langkah demi langkah al- Biqâ’i memperoleh kesan dari kata tersebut bahwa mereka berjalan di wilayah pasir menyelusuri pantai, tanpa tanda- tanda, sehingga menulusuri bekas- bekas kaki mereka yang masih berbekas dan dapat terlihat dipasir.[23]

Mendengar jawaban seperti di atas, Nabi Musa as. menyebutnya dengan gembira seraya berkata, “ itulah tempat yang kita cari. Ditempat itu, kita akan bertemu dengan orang yang kita cari, yaitu Khidir.” Merekapun kembali mengikuti jejak semula, untuk mendapatakan batu yang mereka jadikan tempat berlindung. Menurut Biqâ’i, firman Allah SWT. dalam ayat ini menunjukan bahwa mereka itu berjalan di padang pasir, sehingga tidak ada tanda- tanda, akan tetapi ada jejak mereka. Maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksud firman Allah SWT. tentang pertemuan dua laut itu ialah pertemuan air tawar (sungai Nil) dengan air asin (laut Tengah) yaitu kota Dimyat atau Rasyid di Negeri Mesir.[24]

 

 

5.      Pelajaran yang dapat dipetik dari Surah al-Kahfi ayat 60-64

Latar belakang Musa mencari Nabi Khidir adalah Pada suatu hari Nabi Musa ditanya salah seorang Bani Isra’il, ”adakah di dunia ini yang jauh lebih alim dari anda? Musapun menjawab,” tidak ada. Atas jawaban itulah Allah menegur Nabi Musa seraya menginformasikan kepadanya bahwa Allah mempunyai seorang hamba yang jauh lebih alim dari Nabi Musa dan ia berada di pertemuan dua lautan. Peristiwa ini menjadi teguran buat siapa saja yang terlalu membanggakan spesialisasi ilmu yang dimilikinya, sehingga ia cenderung menganggap bahwa spesifikasi imunya itulah yang paling tepat untuk memecahkan problem yang dihadapi masyarakat.

Kisah tentang Interaksi antara murid (Nabi musa) dan guru (khidir) dalam al-Kahfi  terdapat empat periode, yaitu:

a.       Periode Pertama al-Kahfi ayat 60-64 Menceritakan perjalanan Nabi Musa ditemani Yusa’ untuk menemukan Nabi Khidir

b.      Periode Kedua al-Kahfi ayat 65-70 Menceritakan pertemuan antara Musa dengan Khaidir

c.       Periode Ketiga al-Kahfi ayat 71-77 Menceritakan Perjalanan Nabi Musa dan Nabi Khaidir

d.      Periode Keempat al-Kahfi ayat 78- 82 Menceritakan perpisahan antara Nabi Musa dan Nabi Khaidir

Jika Proses Nabi Musa menemukan Khaidir pada ayat 60-64 dikaitkan dengan pendidikan maka dapat diambil ibrahnya yaitu :

a.       Nabi Musa menyadari kesalahannya dan kekurangan yang ada pada dirinya.

b.      Membulatkan tekad untuk berguru dengan menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan.

c.       Menetapkan kriteria orang yang akan diguruinya (Nabi Khaidir sebagai sosok orang alim yang ditunjuk Allah).

d.      Guru harus terus menerus mencari ilmu dan jangan merasa malu untuk menjadi murid.

e.       Harus memiliki sikap optimis dan tidak mudah menyerah.

f.       Peserta didik harus memiliki niat dan tekad yang kuat dalam menuntut ilmu.

g.      Menetapkan tempat yang akan dituju (majma’ albahrain).

h.      Majma’ albahrain tempat bertemunya dua lautan, yang letaknya diperdebatkan diperdebatkan para ulama tafsir makna simbolis: Pertemuan antara dua karakter ilmu (Ilmu dzahir dan ilmu bathin) Hatta ablugha majma’al bahrain: sehingga aku mampu memadukan antara ilmu dhahir yang aku miliki dan ilmu bathin yang dimiliki khidir. Nilai pendidikan: target dari pendidikan itu adalah keterpaduan secara sinergi antara ilmu lahir dan ilmu bathin.

i.        Nilai pendidikan pada perjalanan musa mencari Khidir Setelah  Nabi Musa dan Yusak bin Nun (asisten musa) sampai di petemuan dua lautan mereka lupa akan ikannya. Dan ajakan Nabi Musa untuk makan, memberi kesan bahwa rasa lelah itu bukan kali pertama, sebab sebelumnya mereka pernah beristirahat di bawah sebuah batu yang ditempat itu pula ikan yang dibawanya melompat ke lautan. Namun Nabi Musa dan asistennya segera kembali mengikuti langkah-langkah sebelumnya dengan harapan ketemu hamba Allah (Khidir) Peristiwa di atas memberikan peringatan pada para pencari ilmu bahwa dalam perjalanan mencari ilmu pastilah terdapat halangan dan rintangan, dan bahkan sesuatu yang sudah berada di hadapan mata pun terlepas begitu saja karena ketidak tahuannya. Dalam kisah tersebut tidak digambarkan Musa beristirahat dahulu, sehingga redaksi yang digunakan fartadda (penggunaan fa tersebut menunjukkan sesuatu yang bersifat langsung) ini bermakna seorang pencari ilmu harus bersikap optimis dan tidak mudah putus asa karena kegagalan dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai skala prioritas.

 

C.    PENUTUP

Pendidik sebagai komponen yang terpenting di dunia pendidikan menjadi figur di lingkungannya dalam mengantarkan anak-anak didiknya pada ranah kehidupan masa depan yang lebih cerah. Pendidik sebagai ujung tombak dalam memberangus kebodohan dan kemaksiatan, tentunya harus memiliki karakteristik Qur’ani dengan jalan yang persuasif dan konstruktif.

Dalam surat al-Kahfi ayat 60-64 merupakan kisah yang mendiskripsikan perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Musa (yang dalam kisah ini berperan sebagai murid) untuk mencari Nabi Khaidir (yang berperan sebagai guru). Jika dikaitkan dalam dunia pendidikan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1.      Seorang murid atau pelajar hendaknya memiliki sikap optimis dalam menuntut ilmu, jangan mudah putus asa hanya karena kegagalan, tetapi jadikan kegagalan itu sebagai langkah awal dalam meraih kesuksesan.

2.      Seorang pelajar menunjukkan kesungguhannya, keseriusannya dalam menuntut ilmu dan selalu bersabar dalam menghadapi rintangan ketika menuntut ilmu.

3.      Senantiasa memiliki sikap rendah hati dalam mengarungi kehidupan yang fana ini dan selalu mengintropeksi diri agar selalu dijauhkan dari segala penyakit hati.



 


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi Mengungkap Pesan al-Qur’an tentang Pendidikan, Yogyakarta: TERAS, 2008

Agus Hidayatullah dkk, Al-Qur’an Transliterasi perkata dan terjemah perkata Bekasi : Cipta Bagus Segera, tanpa tahun

Hamka, Tafsir Al- azhar, juzu’ 13- 14- 15- 16- 17, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.

Kementrian Agama Republik Imdonesia, Alqur’an dan tafsirnya, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995

M. Quraisihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: lentera Hati, 2002

Miftahul Huda, Interaksi Pendidikan 10 Cara Qur’an Mendidik Anak, Malang: UIN Malang Press, 2008

M. Anwar, Ilmu Nahwu, Bandung: Sinar Baru, 1987

Nurwadjah Ahmad E.Q., Tafsir Ayat-ayat pendidikan; Hati yang Selamat Hingga Kisah Luqman, bandung: Marja, 2007



[1] Nurwadjah Ahmad E.Q., Tafsir Ayat-ayat pendidikan; Hati yang Selamat Hingga Kisah Luqman, (bandung: Marja, 2007), hlm. 195

[2] Miftahul Huda, Interaksi Pendidikan 10 Cara Qur’an Mendidik Anak, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm.13

[3] Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi Mengungkap Pesan al-Qur’an tentang Pendidikan, (Yogyakarta: TERAS, 2008), hlm. 165

[4] Agus Hidayatullah dkk, Al-Qur’an Transliterasi perkata dan terjemah perkata (Bekasi : Cipta Bagus Segera, tanpa tahun), h.300-302

[5] Kementrian Agama Republik Imdonesia, Alqur’an dan tafsirnya (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995),  hlm.450.

[6] Menurut riwayat Bukhari daripada Sufyan bin Uyaynah pemuda itu adalah Yusya’ bin Nun. Yusha’ bin Nun adalah orang muda Nabi Musa a.s. Yang beliau didik sejak kecil mendampingi beliau dan mndampingi Nabi Harun a.s. Hamka, Tafsir Al- azhar juzu’ 13- 14- 15- 16-17 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 226.

[7] Hamka, Tafsir Al- azhar , juzu’ 13- 14- 15- 16-17 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 226.

[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: lentera Hati, 2002), Hlm. 90-91

[9] Kementrian Agama Republik Imdonesia, Alqur’an dan tafsirnya (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995),  hlm. 638.

[10] Hamka , Tafsir Al- azhar, juzu’ 13- 14- 15- 16- 17,( Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 226

[11] M. Quraisihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: lentera Hati, 2002), hlm. 91

[12] M. Quraishihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan,...hlm,. 80

[13] Kementrian Agama Republik Imdonesia, Alqur’an dan tafsirnya (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Hlm. 638.

[14] Hamka, Tafsir Al- azhar, juzu’ 13- 14- 15- 16- 17,( Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), .Hlm. 227.

[15] M. Quraishihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: lentera Hati, 2002). Hlm. 92.

[16] Kementrian Agama, Alqur’an dan tafsirnya (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995),   Hlm. 639.

 

[17] Hamka, , Tafsir Al- azhar, juzu’ 13- 14- 15- 16- 17,( Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 230

[18] M. Quraishihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: lentera Hati, 2002), hlm. 96

[19] Badal Isytimal (tercakup) maksudnya adalah kalimat badalnya itu tercakup oleh mubdal minhunya. M. Anwar, Ilmu Nahwu, (Bandung: Sinar Baru, 1987), hlm. 104

[20] M. Quraishihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: lentera Hati, 2002), hlm. 93.

[21] Kementrian Agama, Alqur’an dan tafsirnya (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995),   Hlm. 613

[22] Hamka, Tafsir Al- azhar, juzu’ 13- 14- 15- 16- 17,( Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 241

[23] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 8, (Jakarta: Lentera Hati), hlm 93-94.

[24] Kementrian Agama, Alqur’an dan tafsirnya (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 627

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAFADZ YANG TIDAK JELAS MAKNANYA

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Ushul fiqih merupakan salah satu cabang dalam ilmu keislaman yang secara garis besar membahas tentang bagaimana menggali dan memunculkan hukum syara’ paraktis dari nash yang ada baik Al-Quran maupun As-Sunnah. Pembahasan mengenai ilmu ushul fiqih yang bersinggungan dengan nash maka kajian kebahasaan merupakan salah satu unsur penting yang menentukan bagaimana nantinya hasil yang dapat dikeluarkan dari nash tersebut. Dengan demikian pemahaman atas terori kebahasaan   merupakan syarat dalam pengkajian ushul fiqih. Salah satu dari teori kebahasaan tersebut ialah memahami lafadz dari segi maknanya, baik yang jelas maupun tidak jelas.Lafadz-lafadz yang tidak bisa di artikan secara langsung ( jelas) itulah yang menyebabkan banyak perbedaan penafsiran makna terhadap lafadz tersebut. Sehingga dalam makalah ini akan di bahas mengenai lafadz-lafadz yang tidak jelas maknanya   serta pembagian dan contohnya. B. ...

IKHTILAF MUFASSIR DAN SEBAB-SEBABNYA

  BAB I PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG       Pemahaman umat terhadap Al-Qur’an itulah yang bisa menjadi penerang bagi majunya ummat. Pemahaman disini mencakup penafsiran terhada al-Qur’an. Penafsiran pada zaman Rasul adalah bersumber dari Rasul sendiri melalui al-wahyu al-ilahiyi atau melalui para sahabat yang berkompeten pada penafsiran (ijtihad al-sohabi).para Sahabat ini mempunyai keutamaan-keutamaan dalam menjelaskan nash-nash.        Dalam tafsir munir dijelaskan bahwa muhkam adalah ayat yang jelas maksudnya dan tidak ada ikhtilaf (perbedaan) dalam maknanya. Mutasybih ayat yang tidak jelas dan ada ikhtilaf (perbedaan) antara dhohir lafadz dengan makna yang diinginkan dari lafadz itu sendiri. Seperti pada awal-awal surat.       Ikhtilaf (perbedaan) adalah sebuah sunnatullah kehidupan. Setiap orang melihat suatu masalah dari sudut pandang, lalu memberikan kesimpulan sesuai de...

KONTRIBUSI AKHLAK DALAM KEHIDUPAN POLITIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Agama adalah prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan aturan-aturan syariat tertentu . Dapat dikatakan bahwa agama adalah sebuah kepercayaan. Agama merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan. Dengan adanya agama membuat hidup manusia menjadi teratur dan terarah. Agama dalam hal ini agama Islam mengatur kehidupan umatnya di berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, bidaya, politik, pendidikan, akhlak, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Islam merupakan agama Allah SWT sekaligus agama yang terakhir yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW  melalui malaikat jibril dengan tujuan untuk mengubah akhlak manusia ke arah yang lebih baik di sisi Allah SWT. Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan agama Islam di kalangan umatnya tidak menggunakan cara yang sembarang. Tapi dengan menggunakan startegi-strategi yang disesuaikan dengan masyarakat di zaman itu. Startegi-strategi dakwah tersebut tanpa disadari berupa sesuatu yang ber...