BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ushul fiqih merupakan
salah satu cabang dalam ilmu keislaman yang secara garis besar membahas tentang
bagaimana menggali dan memunculkan hukum syara’ paraktis dari nash yang ada
baik Al-Quran maupun As-Sunnah.
Pembahasan mengenai ilmu
ushul fiqih yang bersinggungan dengan nash maka kajian kebahasaan merupakan
salah satu unsur penting yang menentukan bagaimana nantinya hasil yang dapat
dikeluarkan dari nash tersebut. Dengan demikian pemahaman atas terori
kebahasaan merupakan syarat dalam
pengkajian ushul fiqih.
Salah satu dari teori
kebahasaan tersebut ialah memahami lafadz dari segi maknanya, baik yang jelas
maupun tidak jelas.Lafadz-lafadz yang tidak bisa di artikan secara langsung (
jelas) itulah yang menyebabkan banyak perbedaan penafsiran makna terhadap
lafadz tersebut. Sehingga dalam makalah ini akan di bahas mengenai lafadz-lafadz
yang tidak jelas maknanya serta
pembagian dan contohnya.
B.
Rumusan Masalah
Tujuan dari penulisan
makalah adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan
Lafadz yang tidak jelas maknanya?
2.
Ada berapa bagian Lafadz yang tidak jelas maknanya?
3.
Apa pengetian dari pembagian Lafadz yang tidak jelas maknanya?
C.
Tujuan Penulis
Tujuan dari penulisan makalah adalah :
1.
Mengetahui apa itu lafadz-lafadz yang tidak jelas maknanya.
2.
Mengetahui apa saja bagian-bagian lafadz yang tidak jelas maknanya.
3.
Memenuhi tugas mata kuliah Ushul
fiqh II
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Lafadz-lafadz yang Tidak Terang Artinya
Lafadz yang tidak terang
artinya atau ghairu wudhu al-ma’na,yaitu lafadz yang dari segi lafadz itu
sendiri tidak dapat di ketahui artinya. Lafadz itu baru dapat di pahami
maksudnya bila ada penjelasan dari luar lafadz tersebut. Lafadz dalam bentuk
ini disebut juga lafadz mubham.[1]
Jika nash atau dalil itu bisa dihilangkan kesamarannya dengan jalan meneliti
dan melakukan ijtihad, maka dalil itu disebut al-khafi atau al-musykil.
Jika kesamarannya tidak bisa dihilangkan kecuali dengan mengambil penjelasan
dari syari’ itu sendiri, maka dalil itu disebut al-mujmal. Dan jika tidak ada jalan sama sekali untuk menghilangkan
kesamarannya itu, maka dalil itu disebut al-mutasyabih.[2]
Ulama’ Ushul telah membagi
Lafadz yang tidak terang pada empat
bagian, yaitu: Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih.
1)
Khafi
Lafaz khafi ialah:
2)
مَا خُفِيَ مَعْنَاهُ فِى بَعْضِ
مَدْلُوْ لَاتِهِ لِعَارِضِ غَيْرِ الصِّغَة
“Suatu
lafaz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan (dilalah)-nya yang
disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat lafaz”.[3]
Al-Khafi menurut istilah ulama‘
ushul adalah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk
menerapkan arti kata itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang
samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu
diperlukan upaya berfikir secara mendalam.[4]
Lafadz yang khafi itu
sebenarnya dari segi lafadznya menunjukkan arti yang jelas, namun dalam
penerapan artinya terhadap sebagian yang lain dari satuan artinya terdapat
kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil.
Sumber kesamaran dalam
lafadz itu di sebabkan karena dalam salahsatu satuan artinya ( afradnya )
mengandung sifat tambahan di bandingkan dengan satuan arti yang lainnya. Bisa
juga karena kurang sifatnya atau karena mempunyai nama khusus.Karena ada
kelebihan atau kekurangan sifat itu atau ada nama khusus itu, menyebabkan
artinya diragukan. Kesamaran arti lafadz itu dihubungkan dalam konteks satuan
arti tersebut.
Contoh lafadz khafi ini
adalah lafadz ” السارق =
pencuri” yang mana sudah cukup jelas artinya yaitu “ Orang yang mengambil harta
yang bernilai milik orang lain dalam tempat penyimpanannya secara
sembunyi-sembunyi”. Penerapan hukuman terhadap pencuri juga jelas, namun lafadz “ pencuri “ itu mempunyai satuan arti
yang banyak yaitu pencopet, perampok, pencuri barang kuburan, dan lain
sebagainya yang mempunyai kelebihan sifat atau kekurangan sifat dibandingkan
dengan pencuri dalam arti di atas. Apakah sanksi hukuman potong tangan di
perlakukan terhadap semua satuan arti itu.Disinilah letak kesamaran dan ketidak
jelasan itu. Adapun cara untuk menghilangkan kesamaran tersebut adalah melalui
penelitian, mengetahui tujuan umum dan tujuan khusus di tetapkannya hukum
atasnya; yaitu “perluasan” penunjukan lafadz atau “penyempitan” dalam
penerapannya.[5]
Menurut ijtihad telah ditetapkan secara mufakad diwajibkannya memotong tangan
pencopet, yang diambil dari jalan dalalah nash, sebab hukum ini lebih cocok,
mengingat bahwa alasan memotong lebih terpenuhi bagi pengertian copet.
Contoh lain adalah riba:
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا
لَا يَقُومُونَ
إِلَّا كَمَا
يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ.. البقرة: ٢٧٥
Lafadz riba ini secara hukum jelas maksudnya,
tetapi apakah bisa untuk mencakupkan maknanya pada bunga bank dan tambahan
dalam simpan pinjam koperasi?. Dan kenyataan, membuktikan bahwa tidak bisa
serta merta menyatakan keduanya sebagai riba, namun untuk menyatakan sebagai
riba atau tidak masih membutuhkan kajian, lihat misalnya pada hasil keputusan
Ijtima ulama komisi fatwa se-Indonesia Majelis Ulama Indonesia 16 desember 2003
tentang fatwa bunga dan fatwa MUI nomor 1 tahuun 2004 tentang Bunga (interest/fa’idah).
Pembunuh (al Qatil) tidak bisa mewarisi,
lafadz pembunuh tentu jelas maksudnya yakni pembunuhan sengaja, tetapi bila
diterapkan pada kasus perkasus tentu membutuhkan penelitian lebih lanjut,
karena ada pembunuhan tersalah/khatha’, pembunuhan karena sebagai sebab terjadi
pembunuhan, pembunuhan bersama atau merencanakan atau membantu pembunuhan. Untuk
diskusi lebih lanjut bisa dilihat di kitab Ushul Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah
Untuk memahami yang khafi sehingga menjadi
jelas maksudnya maka seseorang perlu belajar lebih lanjut, penelitian, kajian,
mendalami filosofi atau maksud hukum secara umum maupun secara khusus.
2)
Musykil
Yaitu Suatu
lafadz yang samar artinya, di sebabkan oleh lafadz itu sendiri.
Ada definisi lain yang memberikan
penjelasan terhadap definisi di atas, yaitu bahwa lafadz musykil itu dari segi
sighatnya sendiri tidak menunjukkan maksud tertentu, oleh karenanya di perlukan
qarinah dari luar yang menjelaskan apa yang di maksud oleh lafadz tersebut.
Sumber kesamaran lafadz
itu berasal dari lafadz itu sendiri. Adakalanya karena lafadz itu digunakan
untuk arti yang banyak secara penggunaan yang sebenarnya sehingga tidak dapat
di pahami artinya dari semata-mata hanya melihat kepada lafadz itu.
Umpamanya lafadz القرء dalam surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi:
والمطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء
Yang bermakna ganda yaitu “suci” dan “haid”.Manakah
diantara kedua arti itu yang dimaksud dalam ayat tersebut, iddah( masa tenggang
waktu ) wanita yang dijatuhi thalak itu tiga haid ataukah tiga kali masa suci?.
Imam Syafi’I
dan sebagian mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksud adalah suci. Petunjuknya
yaitu memberikan tanda perempuan pada nama bilangan. Karena menurut bahasa, hal
itu menunjukkan bahwa al-ma’dud adalah mudzakkar, yaituالاطهار (suci ) dan bukanالحيضات
( haid ). Sedangkan
Ulama’ Hanafiyyah dan sekelompok
mujtahid lain berpendapat bahwa kata tersebut adalah haid. Petunjuknya adalah:
1.
Hikmah
disyari’atkannya hukum iddah bagi wanita yang dijatuhi thalak adalah untuk
mengetahui bersihnya Rahim wanita itu dari benih-benih kehamilan, dan
sesuatu yang dapat menunjukkan hal ini
adalah haid bukan suci.
2.
Firman Allah
SWT. Q.S. Ath-Talak ( 65 ) : 4
والئ يئسن من المحيض من نسائكم ان ارتبتم فعدتهن ثلثة اشهر
والئ يحضن
2. Sabda
Rasulullah SAW:
طلاق الامة اثنتان وعدتها حيضتان
Cara untuk
menghilangkan kesulitan al-musykil adalah dengan ijtihad. Apabila dalam nash
itu terdapat lafadz yang musytarak, seorang mujtahid harus berusaha menemukan
qarinah-qarinah dan dalil-dalil yang dijadikan oleh syari’ untuk menghilangkan
kesulitan lafadz itu dan menentukan pengertiannya. Sebagaimana dimaklumi betapa
jelas ijtihad para mujtahid ketika
menentukan pengertian lafadz القرء dalam ayat
tersebut, serta perbedaan orientasi pandangan mujtahid dalam menentukan ini.
Apabila terdapat beberapa nash sedang dzahirnya nampak terdapat perbedaan dan
pertentangan, maka seorang mujtahid
harus mentakwilkan nash dengan benar dan dapat memberikan kejelasan nash-nash
itu, sehingga seorang mujtahid dapat memberikan petunjuk pentakwilan ini dalam
bentuk keterangan, selain berupa nash-nash yang lain, juga berupa kaidah-kaidah
syara’ atau hikmah pembentukan hukum.[6]
Adanya arti ganda itu
menghasilkan hukum yang berbeda, karenanya lafadz tersebut termasuk dalam
lafadz musykil.[7]
Termasuk musykil adalah kata musytarak yakni
memiliki lebih dari satu arti, kata ‘ain dalam bahasa Arab dapat bermakna :
mata untuk melihat, mata air, pokok perkara, spionase,matahari, emas. Contoh musykil dalam keseharian dalam bahasa Indonesia adalah kata
rapat ( pertemuan atau tidak ada celah), bisa (racun atau dapat),mangkat (mati
atau berangkat).
Bahkan lafadz musykil tidak terbatas pada arti bahasa yang
dimilikinya, tetapi juga bila arti istilah ketika dipergunakan untuk menyebut
suatu aktifitas tertentu. Misalnya lafadz sujud secara bahasa memiliki arti
tersendiri yakni khudhu’ (tunduk/patuh), tetapi juga dipergunakan untuk istilah
tertentu yakni gerakan dalam shalat, tetapi musytarak juga dimasukkan dalam
pembahasan mujmal (lihat selanjutnya).
Mengingat lafadz musykil seperti diuraikan di
atas maka untuk menentukan maknanya membutuhkan kajian lebih lanjut juga harus
melihat konteks luarnya, bukan dari kata itu sendiri. Bila terkait dengan nash-nash syari’at tentu harus melihat
nash-nash lain yang terkait dengannya.
Misalnya untuk menentukan arti lafadz quru’ yang sering dijadikan
contoh sebagai lafadz musytarak dalam firman Allah berikut:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ
ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ : البقرة: ٢٢٨
quru dalam ayat di atas memiliki dua makna:
haid dan suci, tetapi tidak bisa serta merta menentukan arti quru sebagi haid
atau suci, tanpa melihat nash-nash lainnya. maka disinilah urgensinya mengenal
permasalahan seputar persoalan kebahasaan dalam hal ini menyangkut kejelasan
maksud suatu lafadz pada maksud yang dikehendakinya dari al qur’an dan assunnah
serta implikasinya.
Imam Syafi’i misalnya memilih arti quru sebagai suci, sementara
imam Abu Hanifah mengartikan haid. Setiap pendapat ini dengan alasannya
sendiri-sendiri. Untuk mengetahui alasannya bisa ditelusur lebih lanjut di
kitab-kitab fiqih atau ushul fiqih.
Contoh lain ada yang menganggap ayat berikut sebagai mujmal.
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ
مَتَاعًا إِلَى
الْحَوْلِ غَيْرَ
إِخْرَاجٍ..البقرة: ٢٤٠
ayat ini dipahami sebagai iddah wanita cerai mati adalah satu
tahun, sementara ayat lain.
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا.. البقرة: ٢٣٤
ayat ini menyatakan iddah cerai mati adalah empat bulan sepuluh
hari, karenanya dua ayat tadi dianggap mujmal.
Tetapi bila diperhatikan ayat pertama terkait dengan hak wanita
yang diterima untuk mendapatkan tempat tinggal misalnya, selama satu tahun,
jadi bukan terkait dengan iddah. ayat kedua secara langsung menyatakan iddah.
jadi iddahnya empat bulan sepuluh hari, dan hak mendapatkan jaminan mata’ (
sandang pangan papan) dari selama satu tahun.
contoh lain, lafadz annaa dalam ayat:
نِسَاؤُكُمْ
حَرْثٌ لَكُمْ
فَأْتُوا حَرْثَكُمْ
أَنَّى شِئْتُمْ ..البقرة:٢٢٣
karena lafadz anna bisa bermakna aina (dari
mana) dan kaifa (bagaimana), sehingga harus dipastikan mana maksud yang
dipilih, karena tentu berimplikasi pada istinbath hukum.
Annaa dalam makna aina seperti tercantum dalam :
قَالَ
يَا مَرْيَمُ
أَنَّى لَكِ
هَذَا…آل
عمران: ٢٣
dan annaa dalam arti kaifa seperti dalam :
قَالَتْ أَنَّى
يَكُونُ لِي
غُلَامٌ وَلَمْ
يَمْسَسْنِي بَشَرٌ
وَلَمْ أَكُ
بَغِيًّا . مريم : ٢٠
contoh lain, lafadz biyadihi uqdatun nikah
إِلا أَنْ
يَعْفُونَ أَوْ
يَعْفُوَ الَّذِي
بِيَدِهِ عُقْدَةُ
النِّكَاحِ ..البقرة: ٢٣٧
lafadz ini mujmal karena musytarak, makna
pertama adalah suami, kedua adalah wali. hal ini bisa dilihat dalam terjemahan
al qur’an dari Kementrian Agama RI.
3)
Mujmal
Yaitu Lafadz yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang
terkumpul di dalamnya.
Lafadz mujmal ini lebih
tidak jelas di bandingkan dengan lafadz-lafadz sebelumnya, karena lafadz itu
sendiri tidak dapat di ketahui secara pasti artinya. Tambahan dari itu tidak
ada qarinah yang memberi petunjuk. Oleh karena itu, untuk mengetahui apa
sebenarnya yang di maksud dari lafadz itu sepenuhnya tergantung pada penjelasan
dari yang mengucapkan lafadz itu, dalam hal ini adalah Nabi. Umpamanya kata
shalat dan zakat yang terdapat dalam alqur’an, namun secara bahasa tidak dapat
dipahami artinya. Untuk itu
penjelasannya di serahkan kepada Nabi.[8]
Tentang bagaimana sifat mujmal yang sudah diberi
penjelasan oleh Nabi, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa lafadz mujmal setelah mendapatkan
penjelasan dari Nabi menjadi “ mufassar “ sehingga tidak mungkin dimasuki oleh
ta’wil dan tidak dapat pula menerima takhsis.
وَصَلِّ
عَلَيْهِمْ إِنَّ
صَلَاتَكَ سَكَنٌ
لَهُمْ ..التوبة: ١٠٣
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا
مَعَ الرَّاكِعِينَ. البقرة: ٤٣
Khusus ayat terakhir ini adalah mujmal karena
tidak mungkin bisa memahami maksud lafadz shalat semata dari arti bahasanya. Namun untuk bisa memahaminya memerlukan penjelasan tersendiri yakni
dari tatacara Rasulullah saw melakukan shalat. Sebagaimana disabdakan
Rasulullah:
صلوا
كما رأيتموني
أصلي.
Contoh lainnya, firman Allah:
و
آتوا حقه
يوم حصاده [الأنعام: ١٤١]،
Contoh sabda Rasulullah:
((أُمرتُ أن
أقاتِلَ النَّاسً
حتَّى يشهدُوا
أن لا
إلـه إلاَّ
الله، وأنَّ
محمَّدًا رسول
الله، ويُقيمُوا
الصَّلاةَ، ويُؤتُوا
الزَّكاةَ، فإذا
فعلُوا عصمُوا
منِّي دِماءَهُمْ
وأموالَهُم إلاَّ
بحقِّهَا وحسابُهُم
على الله)) [متفقٌ
عليه عن
ابنِ عُمرَ
Dua contoh di atas mujmal, tidak bisa
dimengerti maksudnya karena belum diketahui kadar ukurannya, atau belum
dimengerti jenisnya
kedua: lafadz musytarak contohnya kata quru
seperti dalam pembahasan sebelumnya dan ketiga: lafadz gharib/asing yang
maknanya masih tertutup, misalnya al qari’ah dan halu’a yang dijelaskan
langsung oleh al qur’an dalam ayat selanjutnya.
الْقَارِعَةُ (١) مَا
الْقَارِعَةُ (٢)
وَمَا أَدْرَاكَ
مَا الْقَارِعَةُ (٣) يَوْمَ
يَكُونُ النَّاسُ
كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ…القارعة: ١- ٤.
إِنَّ
الإنْسَانَ خُلِقَ
هَلُوعًا # إِذَا
مَسَّهُ الشَّرُّ
جَزُوعًا # وَإِذَا
مَسَّهُ الْخَيْرُ
مَنُوعًا. المعارج: ١٩-٢١
Sedangkan syekh Utsaimin menjelaskan mujmal sebagai:
ما
يتوقف فهم
المراد منه
على غيره،
إما في
تعيينه أو
بيان صفته
أو مقداره
Mujmal di sini mencakup tiga kelompok pertama: kata
musytarak,seperti dalam contoh kata quru’ di atas. Kedua: kata yang membutuhkan
penjelasan tatacara, sebagaimana ayat perintah shalat dalam contoh di atas, Dan
ketiga: kata yang membutuhkan penjelasan ukurannya, contohnya.
وَآتُوا
الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا
مَعَ الرَّاكِعِينَ. البقرة: ٤٣
Lafadz zakat adalah mujmal karena tidak bisa
dipahami maksudnya, yakni ukurannya tidak diketahui, sehingga Rasulullah
misalnya menjelaskan dengan sabdanya:
قَالَ
فِيمَا سَقَتْ
السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ
أَوْ كَانَ
عَثَرِيًّا الْعُشْرُ
وَمَا سُقِيَ
بِالنَّضْحِ نِصْفُ
الْعُشْرِ. رواه
البخاري: ١٣٨٨
“Pada tanaman yang diairi dengan air hujan, mata air, atau air
tanah maka zakatnya sepersepuluh, adapun yang diairi dengan menggunakan tenaga
maka zakatnya seperduapuluh”
Hampir semua ayat berkaitan dengan hukum taklifi bersifat mujmal.
dan assunnah datang memberikan kejelasan maksdunya, maka di sinilah pentingnya
as sunnah dalam kaitannya dengan al qur’an.
Sebagian ulama berpendapat
bahwa lafadz mujmal setelah memperoleh penjelasan, kadang-kadang menjadi zhahir
atau nash, dan kadang-kadang menjadi mufassar, bahkan kadang-kadang menjadi
muhkam.Karena banyak kemungkinannya, maka tidak dapat dipastikan untuk satu diantara macam-macam kemungkinan
tersebut.[9] Jadi
sebab kesamaran dalam al-mujmal ini bersifat lafdzi, bukan sifat yang baru
datang.
Apabila dalam nash syara’
diantara lafadz-lafadznya terdapat lafadz, dan lafadz itu adalah mujmal, maka pengertiannya harus ditangguhkan sampai ada
penafsiran terhadap lafadz itu oleh syari’ sendiri. Karena itu ada al-sunnah
dalam bentuk amal perbuatan atau ucapan untuk menafsirkan sholat dan
menjelaskan rukun-rukun, syarat-syarat dan cara-caranya.
4)
Mutasyabih
Yaitu Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan pengertiannya
karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafadz mutasyabih
adalah lafadz yang samar artinya dan
tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.
Ketidakjelasan lafadz
mutasyabih ini adalah karena sighatnya sendiri tidak memberikan arti yang
dimaksud, tidak ada pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya; sedangkan
syari’ membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini
akal manusia tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya
kepada Allah sambil mengakui kelemahan dan kekurangmampuan manusia.
Mutasyabih itu ada dua
bentuk :
1.
Dalam bentuk potongan huruf hijaiyyah yang terdapat dalam beberapa
pembukaan surat dalam alqur’an.
2.
Ayat-ayat yang menurut dzahirnya mempersamakan Allah yang Maha Pencipta
dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti
lughawinya.
Lafadz mutasyabihat merupakan lafadz yang paling samar ( tidak terang )
artinya dalam kelompok lafadz yang samar artinya.Sedangkan dalam kelompok yang
terang artinya lafadz muhkam berada dalam tingkat atas dari segi kejelasannya.
Kedua bentuk lafadz ini secara jelas disebutkan dalam alqur’an pada ayat-ayat
yang meyakinkan (qath’i ), sedangkan lafadz yang mutasyabih dan yang berada
dalam kelompoknya menghasilkan pemahaman yang tidak meyakinkan ( dzanni ).[10]
Seperti lafadz yang
terdapat pada firman Allah SWT:
طه,
ص,
حم
يدالله فوق ايديهم
“ Tangan Allah
diatastanganmereka “.( Q.S.Al-fath :10)
Huruf hijaiyyah terpotong-potong yang terdapat
pada beberapa permulaan surat( didalam al-qur’an ) itu sendiri tidak
menunjukkan artinya. Dan Allah SWT. Tidak menjelaskan arti yang dikehendaki
daripadanya. Dia Maha Mengetahui
artinya. Begitu pula ayat-ayat yang dzahirnya menunjukkan penyerupaan al-Khaliq
dengan makhluk-Nya, dan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Berkenaan
dengan Allah SWT. Adalah Maha Suci dari ( mempunyai ) tangan, mata, tempat dan
segala sesuatu yang menyerupai makhluk-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui, maka syara‘ tidak menjelaskan arti kata-kata itu, Dia Maha
Mengetahui artinya. Inilah pendapat ulama‘ salaf ( terdahulu ) tentang
pengertian al-mutasyabih. Mereka menyerahkan kepada Allah SWT. Dan ilmu-Nya
arti al-mutasyabih tersebut dan mereka mempercayainya serta tidak membicarakan
untuk mentakwilnya.
Pendapat ulama’ khalaf adalah bahwa ayat-ayat
tersebut dzahirnya mustahil, sebab Allah
SWT. Tidak memiliki tangan, mata dan tempat. Segala sesuatu yang secara dzahiriyyah
mustahil pengertiannya harus dita’wilkan dan dipalingkan dari arti dzahirnya,
serta dimaksudkan dengannya arti yang dikandung oleh kata tersebut sekalipun
dengan jalan majaz. Di dalamnya tidak terdapat penyerupaan al-Khaliq dengan
makhluk-Nya. Seperti “ tangan Allah
diatas tangan mereka ” ta’wilnya ialah “
kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka “.
Sumber timbulnya perbedaan ini ialah perbedaan
mereka dalam memahami firman Allah SWT. Tentang ayat mutasyabihat:
وما يعلم تأويله الاالله والرّاسخون في
العلم يقولون امنّا به كل من عند ربّنا “ Padahal tidak ada
yang mengetahui ta’wilnya kecuali
Allah. Dan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata: “ Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat. Semuanya
itu dari sisi Tuhan kami “.( Q.S. Ali
Imran:7 ).
Orang yang memberi tanda berhenti setelah
lafadz الله, maka dia akan berpendapat bahwa tidak ada yang
mengetahui arti ayat mutasyabihat kecuali Allah SWT. Kita mengimani
dan menyerahkan artinya kepada Allah, serta tidak melakukan ta’wil atasnya. Sedang
orang yang member tanda berhenti setelah lafadzوالراسحون في
العلمberarti dia
berpendapat bahwa tidak ada yang dapat mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan
orang-orang yang dalam ilmunya.mereka. mengetahui ta’wilnya dengan mendatangkan arti yang dikandung oleh lafadz
yang sesuai, serta memahasucikan sang Khaliq dari menyerupai makhluk-Nya.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ø Lafadz yang tidak terang artinya atau ghairu wudhu al-ma’na,yaitu lafadz
yang dari segi lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui artinya.
Ø Lafadz yang tidak terang ini terbagi
pada empat bagian, yaitu: Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih.
Ø Perbedaan antara lafadz mujmal dengan khafi dan musykil adalah bahwa lafadz
mujmal tidak mungkin diketahui rincian maksudnya hanya semata-mata mengandalkan
dan melihat pada lafadznya sebagaimana yang berlaku pada khafi dan tidak pula
dengan semata-mata pada penalaran dan penafsiran lafadz sebagaiman yang berlaku
pada musykil.
Ø Bahwasannya mutasyabih itu lafadz yang meragukan pengertiannya karena
mengandung beberapa persamaan.Sehingga terjadilah perbedaan pengertian menurut
ulama’ khalaf dan salaf.
DAFTAR PUSTAKA
Az-zuhaili, Wahbah, 1986, Ushulul
Fiqh Al islami, Darul Fikri.
Hasaballah, Ali, 1119, Ushul
Tasyri’al-Islam, Kairo: Darul
Ma’arif.
Syarifuddin, Amir , 2012, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta:
Kencana Prenada Media.
Syarifuddin, Amir, 2008, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana
Prenada Media.
zahra, Abu, 1958, Ushulul fiqh,
Kairo: Darul fikri al-arabi.
Khalaf, Abdul Wahab, Alih Bahasa Helmy,
Masdar, 1997, Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press.
Group, 2012.hlm.101
Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.297
[3] Prof. Dr.
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul
Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012.hlm.102
[4] ]Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah
Press, 1997, hlm.298
[6] Prof. Dr. Abdul Wahab
Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H.
Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh,
Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.301
[8] Prof. Dr. Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012.hlm.104-105
[9] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta:
Kencana,2008. Hlm. 21
[11] ]Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah
Press, 1997, hlm.308-311
Komentar
Posting Komentar