BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pemahaman
umat terhadap Al-Qur’an itulah yang bisa menjadi penerang bagi majunya ummat.
Pemahaman disini mencakup penafsiran terhada al-Qur’an. Penafsiran pada zaman
Rasul adalah bersumber dari Rasul sendiri melalui al-wahyu al-ilahiyi atau
melalui para sahabat yang berkompeten pada penafsiran (ijtihad al-sohabi).para
Sahabat ini mempunyai keutamaan-keutamaan dalam menjelaskan nash-nash.
Dalam tafsir munir dijelaskan bahwa muhkam
adalah ayat yang jelas maksudnya dan tidak ada ikhtilaf (perbedaan) dalam
maknanya. Mutasybih ayat yang tidak jelas dan ada ikhtilaf (perbedaan) antara
dhohir lafadz dengan makna yang diinginkan dari lafadz itu sendiri. Seperti
pada awal-awal surat.
Ikhtilaf
(perbedaan) adalah sebuah sunnatullah kehidupan. Setiap orang melihat suatu
masalah dari sudut pandang, lalu memberikan kesimpulan sesuai dengan sudut
pandang dan hasil pemikirannya. Hal yang sama juga terjadi dalam upaya
menafsirkan al-Qur’an. Telah menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri, bahwa ikhtilaf atau perbedaan pandangan, dalam menafsirkan
ayat-ayat Allah juga terjadi sejak dahulu.
Tulisan
ini bertujuan memaparkan secara singkat tentang faktor-faktor yang menyebabakan
terjadinya ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an tersebut. Tentu saja dengan
harapan agar kita dapat memahami dan mengambil sikap yang tepat mengahdapi
perbedaan tersebut.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud
dengan Ikhtilaf dalam Penafsiran Al-Qur,an?
2.
Apakah Sebab –
Sebab terjadinya Ikhtilaf?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk mengetahui Ikhtilaf dalam Penafsiran Al-Qur,an?
2.
Untuk mengetahui Sebab – Sebab terjadinya Ikhtilaf?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ikhtilaf dalam Penafsiran Al-Qur’an
1.
Pengertian Ikhtilaf
Ikhtilaf menurut
bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab
yang asal katanya adalah : khalafa- yakhlifu-khilafan(خلف- يخلف-خلافا ), maknanya lebih umum daripada al-dhiddu (الضد), sebab setiap hal yang berlawanan : al diddain (الضدين ), pasti akan saling bertentangan (mukhtalifan) (مختلفا ).
Ikhtilaf menurut
istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap
suatau obyek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk tidak sama
ataupun bertentangan secara deamitral. Jadi, yang dimaksud ikhtilaf adalah
tidak samanya atau bertentangannya penilaian (ketentuan) hukum terhadap satu
obyek hukum.
Sedangkan yang dimaksud ikhtilaf dalam pembahasan ini disini, adalah
perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam (fukaha) dalam menetapkan sebagian
hukum islam yang bersifat furu’iyyah (perbedaan), bukan pada masalah hukum
islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan
pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan
lain-lain. Misalnya perbedaan pendapat fukaha tentang hukum wudu’ seorang lelaki
yang menyentuh perempuan dan hukum membaca surah al-Fatihah bagi ma’mum dalam
sholat, dan lain-lain.
DR. Wasim
Fathullah mendefinisikan ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an sebagai
“ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur’an dalam memahami penunjukan suatu ayat
atau lafazh al-Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah Ta’ala
dari ayat itu, dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang
tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.”[1]
2. Macam
–Macam Ikhtilaf
a.
Ikhtilaf
Tanawwu’ ( Perbedaan yang bersifat variatif ).
Adapun yang
dimaksud dengan ikhtilaf tanawwu’ adalah
sebuah kondisi dimana memungkinkan penerapan makna-makna yang berbeda
itu ke dalam ayat dimaksud, dan ini hanya memungkinkan jika makna-makna itu
adalah makna yang shahih, atau makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna
satu sama lain, namun diungkapkan dengan cara yang berbeda, atau terkadang makna-makna itu berbeda namun tidak
saling menafikan, keduanya memiliki makna yang shahih.[2]
Contoh ikhtilaf tanawwu seperti beberapa penafsiran Mufassir
mengenai tafsir ashirotol mustaqim dalam surah Al-Fatihah. Keika kita mencoba
menengok Tafsir Al-Khozin kita kan temui bahwa beliau Syaikh Alauddin
menafsirkan dengan thoriqah hasanah (jalan yang baik), kemudian beliau juga
mengutip pendapat Ibnu Abbas yang menafsirkan Shirotol Mustaqim dengan agama
islam. Berbeda dengan penafsiran Al-Bagawi, beliau menjadikan kitab allah
sebagai makna penafsiran dari shirotol Mustaqim, juga kemudian mengutip
penafsiran Ibnu Mas’ud bahwa yang dimaksud
Shirotol Mustaqim adalah jalan menuju syurga. Beberapa makna yang ada
memang semuanya berbeda namun kesemuanya tidak saling menafikan satu sama lain
karena Al-qur’an merupakan sumber petunjuk bagi orang islam dimana setiap
pribadi muslim senantiasa mengharapkan keselamatan dunia akhirat dan masuk
syurga dihari kemudian.
b.
Ikhtilaf Tadhadh (perbedaan yang bersifat kontradiktif)[3]
Ikhtilaf
tadhadh adalah ketika makna-makna itu saling menafikan satu sama lain, dan
tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila satu diantaranya diucapkan,
maka yang lain harus ditinggalkan.
Sebagai contoh adalah ikhtilaf
antara Imam Asy-Syafi’I dengan Imam Ahmad yang terdapat dalam surah
An-nisa ayat 43:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا
الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا
إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ
عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ
النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا
بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Terjemahannya :” Adapun jika kamu sakit atau
sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan debu yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu, sesungguhnya allah
maha pema’af lagi maha pengampun.”
Lafaz أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ menurut Imam
Asy-syafi’I menyentuh disitu dalah makna hakiki karena tidak ada illat atau
sebab dan qarinahi atau petunjuk yang mengharuskan terjadinya pemalingan makna
ke makna majaz. Karenanya menyentuh perempuan menurutnya membatalkan wudhu,
sebaliknya menurut Imam Ahmad menyentuh di situ bersifat Majazy berdasarkan
pada surah Al-Baqarah ayat 237:
إِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ
قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ
النِّكَاحِ ۚ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ
بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Terjemahannya : “Dan jika kamu menceraikan
mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menetukan maharnya
maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan kecuali jika mereka
(membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya”
Karena menurutnya menyentuh perempuan tidak
membatalkan wudhu walaupun berdosa jika bukan mahramnya karena hukum keduanya
memang berbeda.
B. Sebab – Sebab
terjadinya Ikhtilaf
Sementara dari sudut apa yang menyebabkan
terjadinya ikhtilaf dalam tafsir al-Qur’an, Ibnu Taimiyah menyimpulkannya dalam
2 hal: yaitu ikhtilaf yang didasari sandaran nash, dan ikhtilaf yang didasari
oleh selain nash –dalam hal ini adalah ra’yu.[4]
Dengan kata
lain, penyebab terjadinya ikhtilaf itu secara garis besar dapat dikatakan
berbeda-beda bila ditinjau dari sisi tafsir bil-ma’tsur dan tafsir bil-ra’yi.
Dan itulah yang akan dijelaskan berikut ini.
1.
Ikhtilaf
dalam Tafsir bil-Ma’tsur
Seperti
telah dijelaskan bahwa landasan yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam
tafsir bil-Ma’tsur adalah nash. Artinya, terdapat beberapa nash atau riwayat
yang tidak sepakat dalam menungkapkan penjelasan terhadap suatu ayat atau
lafazh qur’an tertentu. Dalam kasus ini, kita akan menemukan misalnya beberapa
penjelasan tentang suatu ayat yang sama yang secara sekilas nampak berbeda atau
bertentangan.
Setelah
meneliti lebih dalam, Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa ikhtilaf dalam kategori
sangat mungkin terjadi karena sebab-sebab berikut:
a) ketika sebuah
lafazh ditafsirkan oleh setiap ulama dengan penjelasan yang berbeda, padahal
makna-makna itu sebenarnya ada dalam lafazh yang dimaksud.[5]
Penjelasannya adalah bahwa sesuatu seringkali memiliki beberapa sifat
atau karakteristik, namun ini tidak berarti bahwa sesuatu itu pun berbilang
mengikuti berbilangnya sifat yang ia miliki. Sifat atau
karakteristik apapun yang disebutkan oleh sang mufassir, maka itu mengarah
kepada satu hal yang sama.
Contoh
paling sederhana –misalnya- adalah lafazh “Hari Kiamat” (Yaum al-Qiyamah).
Hakikatnya satu, namun terkadang diungkapkan dengan makna-maknanya yang lain,
tapi semuanya tercakup dalam kata Yaum al-Qiyamah. Kita mengenal kata “Yaum
al-Din” (Hari Pembalasan), “Yaum al-Hasyr” (Hari Pengumpulan), dan “Yaum
al-Taghabun” (Hari saling menuntut) –misalnya- dimana setiap kata ini memiliki
makna yang berbeda, namun semua makna itu tercakup dalam “Yaum al-Qiyamah”.[6]
Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Demikian
pula penafsiran ulama yang menyatakan bahwa ia –‘al-Shirath al-Mustaqim’-
adalah (mengikuti) al-Sunnah dan al-Jama’ah. Juga penafsiran yang mengatakan
bahwa ia adalah jalan penghambaan, penafsiran yang mengatakan bahwa ia adalah
ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya saw, dan yang seperti itu; mereka semua
mengisyaratkan pada hal yang sama, hanya saja masing-masing menggambarkannya
dengan salah satu sifat yang dimiliki (oleh ‘al-Shirath al-Mustaqim’ itu).”[7]
Dengan
melihat penjelasan di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kategori ini
dapat dimasukkan dalam kategori ikhtilaf tanawwu’ yang tidak saling
kontradiktif, dan bukan ikhtilaf tadhadh.
b) al-Qur’an
menyebutkan sesuatu dengan lafazh yang bersifat umum, lalu kemudian setiap
mufassir menafsirkannya dengan menyebut salah satu bagiannya yang khusus saja. Biasanya
ini bertujuan untuk memberikan ‘stressing’ pada hal yang dimaksud, dan bukan
untuk membatasi pengertian lafazh yang umum tersebut.[8]
Terkadang
lafazh yang umum sulit untuk dijelaskan dengan sebuah batasan yang bersifat
mutlak. Hal ini kemudian mendorong sang mufassir untuk menjelaskannya dengan
memberikan dan mengetengahkan “contoh” yang merupakan salah satu bagian dari
lafazh yang umum itu.
Seperti
dalam surah Fathir, ayat 32:
ثُمَّ أَوْرَثْنَاالْكِتَابَ
الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَافَمٍنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ
سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ الله ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ
الْكَبِيْرُ.[فاطر:٣٢]
Artinya: “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami
pilih di antara hamba-hamba Kami,lalu di antara merekaada yang mendzalimi diri
sendiri,ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahuluberbuat kebaikan
dengan izin Allah.yang demikian ituadalah Karunia Yang Besar”.
Dalam ayat
ini, dijelaskan 3 kategori hamba-hamba Allah: (1) Yang zhalim pada dirinya
sendiri (al-zhalim li nafsihi), (2) yang bersikap pertengahan (muqtashid), dan
(3) yang berkompetisi dalam kebaikan (al-sabiq bi al-khairat). Bila
kita merujuk pada bagaimana para ahli tafsir menafsirkan masing-masing kategori
ini, sekilas kita akan menemukan perbedaan. Ada yang menafsirkan bahwa yang
zhalim itu adalah yang membaca al-Qur’an tapi tidak mengamalkannya, yang
pertengahan adalah yang membaca al-Qur’an dan mengamalkannya, dan yang
berkompetisi dalam kebaikan adalah yang membaca al-Qur’an, memahaminya dan
mengamalkannya. Ada yang menafsirkan bahwa yang zhalim itu adalah yang lalai
dari shalat sehingga kehilangan waktu dan jama’ah, yang pertengahan adalah yang
tidak kehilangan waktu namun ketinggalan jamaah, sementara yang berkompetisi
adalah yang selalu menjaga waktu dan jamaahnya. Ada pula yang menafsirkan bahwa
yang berkompetisi adalah yang masuk ke mesjid sebelum adzan dikumandangkan,
yang pertengahan adalah yang masuk ke mesjid setelah adzan dikumandangkan, dan
yang zhalim adalah yang masuk setelah shalat ditegakkan. Dan banyak lagi
penafsiran lain seputar ini.[9]
Ibnu
Taimiyah mengomentari hal ini dengan mengatakan:
“Sudah
dimaklumi, bahwa ‘yang zhalim pada dirinya’ itu mencakup orang yang
menyia-nyiakan semua kewajiban dan melanggar semua larangan, ‘yang pertengahan’
adalah yang mengerjakan semua kewajiban dan meninggalkan larangan, dan ‘yang
berkompetisi’ mencakup orang yang mengerjakan kebajikan-kebajikan lain
disamping yang wajib...Lalu kemudian setiap mufassir menyebutkan salah satu
dari jenis ketaatan tersebut. Maka setiap pendapat yang
menyebutkan salah satu jenis itu tercakup dalam ayat. Tujuannya adalah
memberitahukan orang yang mendengarkan ayat itu bahwa ia mencakupi jenis
ketaatan tersebut, dan memberikan penekanan terhadap (jenis ketaatan) yang
lainnya.”[10]
Dalam
kasus lain, kategori ini dapat terjadi disebabkan adanya beberapa asbab
al-Nuzul dalam satu ayat. Hal ini kemudian menyebabkan seorang mufassir
menafsirkan ayat berdasarkan salah satu asbab al-Nuzulnya, sedangkan mufassir
yang lain menafsirkannya berdasarkan asbab al-Nuzul yang lain. Seperti yang
terjadi pada ayat tentang li’an dalam surah an -Nur, ayat 6:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ
يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلاَّ أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ
شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّا دِقِيْنَ. [انور:٦]
Artinya: “Dan Orang-orang yang menuduh
istrinya (Berzina),padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri
mereka sendiri,maka kesaksian masing-masing orang itu adalah empat kali
Bersumpah dengan (nama) Allah,bahwa Sesungguhnya dia termasuk orang yang
berkata benar”.
Dalam salah satu riwayat yang disebutkan
oleh al-Bukhari dijelaskan bahwa ayat ini turun untuk kasus Hilal ibn Umayyah
ketika ia menuduh zina istrinya. Sementara dalam riwayat shahih lainnya
disebutkan bahwa ayat ini turun pada kasus
Uwaimir al-‘Ajluny.[11] Meskipun sekilas perbedaannya begitu
nyata, tapi sebenarnya di sini tidak ada pertentangan, sebab ayat yang sama
bisa saja turun untuk beberapa kasus yang sama. Hanya
saja kemudian seorang mufassir menyebutkan yang ini, sementara yang lain
mengangkat contoh lain yang juga terdapat dalam riwayat yang shahih. Itulah sebabnya,
Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Bila ini
telah dipahami, maka perkataan salah seorang mereka bahwa ayat ini turun dalam
(kasus) ini, sama sekali tidak menafikan perkataan yang lain yang mengatakan
bahwa ayat ini turun dalam (kasus) yang itu; selama lafazh (ayat) memang
mencakup keduanya.”[12]
Berdasarkan
penjelasan di atas, bahwa kategori kedua inipun tidaklah termasuk jenis
ikhtilaf tadhadh yang kontradiktif. Ia
termasuk jenis ikhtilaf tanawwu’ yang bersifat variatif, tidak bertentangan dan
dapat dikompromikan.
c) hal-hal yang terkait dengan pemahaman terhadap
lafazh, yang kemudian menyebabkan perbedaan kesimpulan dalam menafsirkannya.
Terkait
dengan kategori ini, ada beberapa hal menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam
tafsir sebagai berikut:
1. Lafazh
yang memiliki lebih dari satu makna.
Seperti
yang terjadi dalam surah al-Muddatstsir, ayat 51:
فَرَّتْ
مِنْ قَسْوَرَةٍ [ المدثر: ٥١
Artinya: “Lari dari Singa”.
Lafazh qaswarah ditafsirkan dengan
singa, atau pemanah, atau pemburu.[13] Ketiga makna itu memungkinkan untuk kata
qaswarah, maka setiap mufassir pun menafsirkannya dengan mengambil satu dari
makna-makna itu. Ibnu Taimiyah memberikan catatan penting
bahwa lafazh semacam ini berulang dalam al-Qur’an, maka setiap maknanya boleh
jadi tepat di suatu tempat, sementara makna yang lain tepat pada tempat lain.[14]
Jenis inipun dapat dimasukkan dalam ikhtilaf tanawwu’.
2.
Adanya beberapa lafazh yang memiliki makna yang mendekati makna lafazh qur’ani.
Kondisi
kemudian membuat para mufassir berusaha menjelaskannya dengan salah satu dari
beberapa lafazh itu. Meskipun lafazh itu tidak benar - benar tepat menggambarkan makna lafazh qur’ani dimaksud,
tapi para mufassir berusaha untuk mendekatkan maknanya sedekat mungkin.
Seperti dalam surah
al-Nisa’, ayat 163:
إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا
أَوْحَيْنَا إِلَىٰ نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَعِيسَىٰ
وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ ۚ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا [النساء:١٦٣ ]
Artinya: “Sesungguhnya
Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu
kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu
(pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub,
Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan
Kami berikan Zabur kepada Daud.”
Kata Auhaina (Kami wahyukan)
dijelaskan dengan ungkapan yang berbeda-beda. Ada yang menafsirkannya dengan
“pemberitahuan” (al-I’lam), adapula yang menafsirkannya dengan “menurunkan”
(al-Inzal). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kedua makna ini hanyalah sebuah
upaya pendekatan kepada makna wahyu, tidak benar-benar tepat menjelaskan
hakikat wahyu itu. Sebab wahyu iu sendiri –menurut Ibnu Taimiyah- adalah
“pemberitahuan yang terjadi secara cepat dan tersembunyi.”[15] Bila dicermati, ini juga dapat dikatakan
sebagai salah satu contoh ikhtilaf tanawwu’.
3.
Perbedaan qira’at.
Ketika satu
ayat memiliki qira’at yang berbeda, maka perbedaan penafsiran dan penjelasan
sangat mungkin terjadi, sebab setiap mufassir memberikan tafsir sesuai dengan
qira’at yang ia gunakan. Seperti dalam surah al-Hijr, ayat 15:
لَقَالُوا
إِنَّمَا سُكِّرَتْ أَبْصَارُنَا بَلْ نَحْنُ قَوْمٌ مَسْحُورُون الحجر:١٥
Artinya: “Tentulah
mereka berkata, “Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan Kami
adalah orang yang terkena sihir”.
Kata
Sukkirat selain dibaca tasydid seperti ini, ia juga dibaca biasa tanpa tasydid:
sukirat. Bila dibaca tasydid, maka maknanya menjadi “terhalangi dan tertutupi”,
dan jika dibaca tanpa tasydid, maknanya menjadi “tersihir”. Kedua makna ini
sebenarnya tidak jauh berbeda, sebab keduanya memiliki “hubungan dampak”; orang
yang tersihir akan tertutupi pandangannya untuk melihat yang sebenarnya. Itulah
sebabnya, jenis inipun dapat dikatakan sebagai khtilaf tanawwu’.
Demikianlah, tiga kategori ikhtilaf
dalam tafsir yang disandarkan pada sumber-sumber naqli (tafsir bil-ma’tsur).
Dapat disimpulkan bahwa ikhtilaf dalam jenis tafsir ini lebih banyak yang
mendekati ikhtilaf tanawwu’ –untuk tidak mengatakan semuanya-. Itulah sebabnya,
Ibnu Taimiyah menyatakan,
“Khilaf
(perbedaan) di kalangan salaf dalam tafsir itu sedikit. Khilaf mereka dalam
masalah hukum jauh lebih banyak daripada khilaf mereka dalam tafsir. Mayoritas
khilaf mereka yang diriwayatkan secara shahih (kepada kita) termasuk dalam
kategori ikhtilaf tanawwu’, dan bukan ikhtilaf tadhadh.”[16]
2.
Ikhtilaf
dalam Tafsir bil-Ra’yi
Terjadinya ikhtilaf pada ranah tafsir ini memiliki
kuantitas yang jauh lebih banyak dari ranah sebelumnya (tafsir bil-ma’tsur).
Ini tidaklah mengherankan, sebab landasan dan pijakan jenis tafsir ini adalah
hasil ijtihad, tafakkur dan istinbath yang kualitasnya berbeda-beda pada setiap
mufassir. Pada umumnya, kesalahan ijtihad yang terjadi dalam
jenis ini disebabkan oleh 2 sebab besar berikut:
Pertama,
meyakini makna (baca: ide) tertentu sebelum menafsirkan al-Qur’an, lalu
kemudian membawa lafazh-lafazh qur’ani kepada makna yang telah diyakini
sebelumnya itu.
Ada
orang yang sebelumnya telah “tertawan” oleh keyakinan atau ide tertentu, lalu
kemudian berusaha mencari pembenaran dengan ayat-ayat al-Qur’an. Usaha itu
kemudian nampak sebagai sesuatu yang sangat dipaksakan, karena kesimpulan yang
lahir kemudian bukanlah kesimpulan yang tercakup dalam teks-teks al-Qur’an,
tetapi kesimpulan yang dipaksa-paksakan untuk masuk kedalamnya.[17]
Kedua,
menafsirkan al-Qur’an hanya berdasarkan asumsi bahwa penafsiran itu mungkin
secara bahasa, tanpa mempertimbangkan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, yang
diturunkan kepada Muhammad saw untuk disampaikan kepada jin dan manusia. [18]
Menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini (dikenal dengan
tafsir al-Qur’an bi al-Lughah) tidaklah sepenuhnya keliru, sebab tidak dapat
dipungkiri bahwa al-Qur’an memang diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga
pemahaman yang kuat terhadap bahasa ini mutlak dibutuhkan. Tetapi
tidak cukup dengan itu. Para ulama tafsir telah menyimpulkan berbagai kaidah
untuk menuntun model penafsiran ini agar tidak menyimpang dari semestinya.
Salah satunya adalah menjadikan asbab al-nuzul sebagai panduan dalam memahami
teks al-Qur’an.
Kata
“al-Nasi’” bila ditinjau dari sudut bahasa saja adalah “al-ta’khir” atau
pengakhiran. Tapi dengan membaca kisah ayat ini kita dapat memahami bahwa yang
dimaksud adalah pengakhiran bulan-bulan haram dan menghalalkan apa yang
diharamkan didalamnya.
Hal
inilah yang menyebabkan Abu ‘Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (w. 210H)
-misalnya- menuai kritik, termasuk dari ulama sezamannya, seperti: al-Ashma’iy,
Abu Hatim al-Sijistany, al-Farra’ dan al-Thabary. Sebabnya tidak lain karena ia
hanya memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks Arab murni, tanpa
mempertimbangkan asbab al-nuzul dan hal-hal lain yang mengitarinya.[19]
Para sahabat merasa gelisah. “Siapakah di
antara kita yang tidak pernah berbuat zhalim?” tanya mereka. Ini berarti ketika
ayat ini turun, mereka serta memahaminya dari sudut kebahasaan saja. Sampai
akhirnya Rasulullah saw menjelaskan bahwa “kezhaliman” dalam ayat ini tidak
seperti yang mereka pahami, karena yang dimaksud adalah kesyirikan. Seperti :
1. Bahwa bahasa menjadi rujukan awal para
sahabat dalam memahami teks ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsir bi
al-lughah adalah metode yang “sah-sah saja” dalam menafsirkan al-Qur’an.[20]
2. Bahwa ketika “bertemu” antara penafsiran
secara lughawy dengan penafsiran secara naqly (al-Qur’an dan al-Sunnah), maka
penafsiran secara naqly-lah yang kemudian menjadi pegangan dalam memahami teks
al-Qur’an.
Akhirnya,
memang tak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya ikhtilaf yang terjadi dalam
lingkup tafsir bi al-ra’yi ini termasuk dalam kategori ikhtilaf tadhadh. Dan
berkembangnya berbagai firqah dalam Islam adalah merupakan bukti nyata akan hal
ini.
C.
Pokok-Pokok Sebab Terjadi Al-Ikhtilaf
Ikhtilaf dikalangan ummat islam telah terjadi
sejak masa sahabat, ikhtilaf itu terjadi karena perbedaan paham diantara mereka
dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka. Hal ini terjadi karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak
sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan
berlainan tempat.
Sebagaimana
diketahui, bahwa ketika agama islam telah tersebar luas ke berbagai penjuru,
banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke Negeri
yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau
bermusyawarah memecahkan suatu masalah, sukar dilaksanakan.
Sampai saat ini
fiqh ikhtilaf tetap berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah
furu’iyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami
nash dan mengistinbahtkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu
terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat
dan yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung
berpegang pada dzahir nash, antara yang mewajibkan bermazhab dan yang
melarangnya. Perbedaan pendapat dikalangan ummat ini, sampai kapanpun dan di
tempat manapun akan terus berlangsung dan hal iini menunjukkan kedinamisan
hukum islam, karena pola pikir manusia terus berkembang.
Di antara
sebab-sebab pokok terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama (Mujtahidin) adalah
sebagai berikut:
1.Sebab-Sebab
Eksternal
·
Berbeda
perbendaharaan hadis masing-masing mujtahid.
Hal ini terjadi sebagaimana telah disebutkan
diatas, bahwa para sahabat telah berpencar-pencar keberbagai penjuru negeri
yang banyak mengetahui tentang hadis nabi, sukar menemui mereka.
Ada juga kemungkinan, bahwa sahabat nabi dapat
djumpai, tetapi masing-masing sahabat itu tidak sama dalam perbendaharaan
hadisnya, karena pergaulannya dengan rasullullah ikut menentukan banyak
sedikitnya hadis yang diterima.
·
Diantara
ulama dan ummat islam, ada yang kurang memperhatikan situasi pada waktu Nabi
bersabda, apakah ucapan beliau itu berlaku umum atau untuk orang tertentu saja.
Apakah perintah itu untuk selama-lamnya atau hanya bersifat sementara.
·
Diantara ulama dan ummat islam kurang
memperhatikan dan mempelajari, bagaimana caranya Nabi menjawab suatu pertanyaan
atau menyuruh orang, karena adakalanya jawaban atau suruhan itu tepat untuk
seseorang dan kadang-kadang tidak tepat untuk orang lain.
·
Diantara ulama dan ummat islam banyak yang
terpengaruh oleh pendapat yang dterimanya dari pemuka-pemuka dan ulama-ulama
sebelumnya dengan ucapan “telah terjadi ijmak”, pada masalah-masalah yang tidak
pernah terjadi ijmak.
·
Diantara ulama ada yang berpandangan yang
terlalu berlebihan terhadap amaliah-amaliah yang disunnatkan, sehingga orang
awam menganggapnya suatu amaliyah yang diwajibkan dan berdosa apabila
ditinggalkan.
·
Para sahabat yang tinggal terpencar-pencar
diseluuh pelosok negeri, ada yang meriwayatkan hadis berbeda-beda, karena
mungkin lalai atau lupa, sedangkan yang mengigatkan diantara sahabat-sahabat
itu tidak ada.
·
Perbedaan
pandangan dalam bidang politik, juga menimbulkan pendapat yang berbeda dalam
menetapkan hukum islam.
2.
Sebab-Sebab
Internal
Ø Kedudukan suatu hadis
Karena hadis-hadis yang datang dari
rasullullah itu melewati banyak jalan, maka terkadang menimbulkan perbedaan
antara riwayat yang satu dengan yang lainnya, bahkan bisa juga berlawanan. Bagi orang yang mantap hatinya mempercayai perawinya maka hadis
tersebut dijadikan landasan penetapan. Begitu juga sebaliknya bagi orang yang
tidak mempercayai perawinya akan menyampingkan hadis tersebut.
Ø Perbedaan penggunaan sumber hukum
Para ulama dalam menetapkan suatu hukum tidak sama antara satu
dengan yang lain. Hal ini disebabkan tidak sama dalam penggunaan sumbernya.
umpamanya:
§ Dalam masalah hadis
Kedudukan hadis sebagai sumber hukum tidak diperselisihkan oleh
para mujtahid (fukaha). Akan tetapi yang mereka perselisihkan adalah dari segi
sampa atau idaknya suatu hadis, percaya atau tidak terhadap seorang perawi,
sahih atau tidak suatu hadis.
§ Dalam masalah Ijmak
Sebagai contoh dalam masalah ijmak yaitu dalam hal menjatuhkan
talak 3 sekaligus. Jumhur Fuqaha mengatakan, bahwa talak tiga sekaligus jatuh
tiga juga dengan alasan telah ijmak pada masa khalifah Umar, sedangkan ulama
yang mengatakan, bahwa talak tiga sekaligus, hanya jatuh satu dengan alasan,
telah ijmak pada masa Nabi dan Abu Bakar.
§ Istihsan
Imam Hanafi mempergunakan Istihsan dalam menetapkan sebagian hukum,
sedang Imam Syafi’i tidak memakainya. Sebagai contoh: menurut Mazhab Syafi’i
tidak boleh membaca al-qur’an bagi orang sedang haid, karena orang yang haid
itu sama dengan orang junub. Sedang menurut Imam Hanafi dibolehkan membacanya.
§ Maslahah Mursalah
Penetapan hukum dengan Maslahah Mursalah adalah melihat kepentingan
umum, walaupun kelihatannya menyimpan dari ketentuan yang biasa berlaku.
Sebagai contoh: menjatuhkan hukuman mati atas
suatu kaum atau kelompok manusia yang membunuh satu orang, bisa bisa dijatuhi
hukuman mati menurut Fuqaha Hanafiah, Malik dan Syafi’i untuk menghindari usaha
jahat dari kelompok tertentu yang ingin melakukan pembunuhan dengan cara
sengaja.
Sedangkan menurut Mazhab Hambali, tidak boleh dijatuhi hukuman
mati, karena tidak sepadan.
§ Urf
Urf biasanya diarikan dengan kebiasaan, apakah kebiasaan itu baik
atau buruk. Sebenarnya penggunaan urf berkaitan erat dengan maslahah mursalah,
hanya saja hukum-hukum yang diterangkan dapat berubah-ubah enurut suatu daerah.
D.
Hikmah Adanya Al-Ikhtilaf
Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat,
jika didasarkan pada beberapa hal berikut yaitu :
1)
Niatnya
jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu
dalil dari sekian banyak model dalil.
2)
Ikhtilaf
itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir.
3)
Memberikan
kesempatan berbicara kepada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda pendapat
dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar
mereka.
4)
Pelajaran
dan Teladan dari Ulama Salaf
Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafirahimahullah (salah seorang
murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : “Aku tidak mendapati
orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah
aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau
menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : “ Hai Abu Musa! Tidakkah
sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu
masalah pun ? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah) (Siyaru A’lam An-Nubala’
: 10/16-17).
Al-Imam Yahya bin Sa’id Al Ansharirahimahullah berkata : ”Para ulama adalah
orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para
mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang
menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu
sama lain”. (Tadzkiratul Huffadz : 1/139 dan Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih
393).
Ulama salaf (salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’irahimahullah) berkata,
“Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang
lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyahrahimahullah berkata : “Seandainya setiap kali dua orang muslim yang
berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya
tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” (Majmu’
Al-Fatawa : 24/173)
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Dalam masalah-masalah yang
diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang
pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada”
(Al-Faqih wal Mutafaqqih : 2/69[13]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Demikianlah
sekilas tentang beberapa sebab terjadinya ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an.
Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa ikhtilaf memang ada dan terjadi
dalam upaya menjelaskan al-Qur’an. Meskipun kemudian tidak serta merta semua
ikhtilaf itu menjadi indikasi tidak baik, apalagi menyebabkan terjadinya usaha
saling menyalahkan. Sebagaimana –ketika kita menegaskan hal itu-, tidak berarti
pula kita mentolerir perilaku “asal beda” dalam menafsirkan al-Qur’an. Segala
sesuatu tentu memiliki patron dan batasan. Dan tindakan terbaik adalah jika
kita selalu berusaha menjalani apapun sesuai dengan batasan yang semestinya.
Wallahu
Ta’ala A’la wa A’lam.
B.
KRITIK
DAN SARAN
Dalam makalah ini telah kami jelaskan mengenai
Perbedaan Musafir dan Sebab-sebabnya apa saja yang kontradiksi terhadap
keimanan serta macam-macamnya dan beserta dalilnya. Kami sadar bahwa dalam
makalah ini masih banyak kekurangan dan perlu perbaikan terutama dari ib
pembimbing/dosen dalam mata kuliah Ilmu Tafsir untuk memberikan arahan dan
bimbingan sehingga permasalahan yang dibahas dalam makalah ini bisa tercapai
dan dapat dipahami, dan kepada kawan-kawan juga kami mohon saran
kritikannya sehingga apa yang kurang semoga menjadi bahan evaluasi bagi tim
penyusun makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Fushul
fi Ushul al-Tafsir: Musa’id ibn Sulaiman al-Thayyar. Dar Ibn al-Jauzy, Dammam,
K.S.A. Cetakan ketiga 1420H/1999M.
Al-Ikhtilaf
fi al-Tafsir: DR. Wasim Fathullah. www.saaid.net.
Iqtidha’
al-Shirath al-Mustaqim li Mukhalafah Ashhab al-Jahim: Ahmad ibn Abd al-Halim
ibn Taimiyah (w. 727H). Tahqiq: DR. Nashir ibn ‘Abd al-Karim al-‘Aql. Maktabah
al-Rusyd, Riyadh. Cetakan pertama 1404H.
Al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an: Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthuby (w. 681H). Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. Cetakan ketiga 1413H.
Majmu’
Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyah: dikumpulkan oleh: ‘Abdurrahman ibn
Muhammad ibn Qasim. Tanpa penerbit. T.t
Manahil
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an: Muhammad ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqany. Dar Ihya’
al-Kutub al-‘Arabiyyah, Kairo. t.t.
Mufradat
Alfazh al-Qur’an: al-Raghib al-Isfahany.
Tahqiq: Shafwan ‘Adnan Dawudy. Dar al-Qalam, Beirut. Cetakan pertama 1412H.
Muqaddimah
fi Ushul al-Tafsir: Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah (w. 728H). Tahqiq: DR.
Adnan Zarzur. Dar al-Qur’an al-Karim. Cetakan ketiga 1399H.
Tafsir
Wanita: Syaikh Imad Zaki al-Barudi. Terj: Samson Rahman, MA. Pustaka
Al-Kautsar, Jakarta. Cetakan kedua (revisi) 2005.
[4] Ibid.
[5]
Majmu’ al-Fatawa, 13/185
[6]
Ibid., 13/178
[7] Al-Ikhtilaf
fi al-Tafsir, hal. 7-8.
[8] Muqaddmah
fi Ushul al-Tafsir, hal. 42-43
[9] Majmu’
al-Fatawa, 13/180
[10] Lih.
Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an 14/302-303.
[11] Majmu’
al-Fatawa, 13/180-182
[12] Lih.
Manahil al-‘Irfan, 1/116-115; Tafsir Wanita, hal. 518-520.
[13] Majmu’
al-Fatawa, 13/182.
[14] Mufradat
Alfazh al-Qur’an, hal. 404.
[15] Majmu’
al-Fatawa, 13/182.
[16] Ibid.,
13/183.
[17] Majmu’
al-Fatawa, 13/178.
[18] Majmu’
Fatawa.,13/190-192
[19] Al-Ikhtilaf
fi al-Tafsir, hal. 13-14.
[20]
Majmu’ al-Fatawa, 13/191.
Komentar
Posting Komentar