BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia keilmuan Islam, pendidikan merupakan bagian terpenting
dalam kehidupan manusia, karena dengan pendidikanlah manusia akan bisa eksis
dan berjaya di muka bumi ini. Sebagai
suatu system, pendidikan memiliki sejumlah komponen yang saling berkaitan
antara yang satu dan lainnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut Oemar Hamalik pembelajaran sebagai suatu sistem artinya suatu
keseluruhan dari komponen-komponen yang berinteraksi dan berinterelasi antara
satu sama lain dan dengan keseluruhan itu sendiri untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
Bidang pendidikan termasuk rumpun ilmu perilaku, khususnya suatu
rumpun ilmu yang mengkaji aktivitas manusia. Dalam kaitan ini, lingkup kajian
aktivitas manusia sangatlah luas, yakni mencakup aktivitas manusia sebagai
individu atau kelompok, sebagai kesatuan etnis, bangsa atau ras,dalam lingkup
geografis, administratif atau sosial budaya, dalam satuan organisasi, institusi
pemerintahan, berkenaan dengan kegiatan ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya, pendidikan, keamanan, keagamaan, serta kesejahteraan masyarakat.
Praktik pendidikan yang berlangsung saat ini dikalangan umat islam
belum sepenuhnya mengacu pada ilmu pendidikan islam yang hakiki. Sehingga perlu
adanya tinjauan teoritis dalam mengaplikasikan sistem pendidikan islam yang
mengandung nilai-nilai kebenaran dari konsep ilahi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja komponen komponen dalam pendidikan
Islam?
2. Apa yang dimaksud dengan komponen
pendidikan Islam?
3. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Islam?
C. Tujuan Penulis
1. Mengetahui apa saja komponen dalam
Pendidikan Islam.
2. Mengetahui apa maksud dari Komponen
Pendidikan Islam.
3. Mengetahui apa maksud dari Pendidikan
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Komponen – Komponen dalam Pendidikan Islam
1. Pengertian Komponen Pendidikan
Komponen merupakan bagian dari suatu sistem yang memiliki peran
dalam berlangsungnya suatu proses untuk mencapai tujuan sistem. Komponen
pendidikan berarti bagian-bagian dari sistem proses pendidikan, yang menentukan
berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan. Bahkan dapat
dikatakan bahwa untuk berlangsungnya proses kerja pendidikan diperlukan
keberadaan komponen-komponen tersebut.[1]
2. Pengertian pendidikan islam
Pengertian pendidikan Islam dapat lihat dari beberapa pendapat para
ahli pendidikan diantaranya;
Menurut Marimba (1982) bahwa pendidikan
merupakan bimbingan atau pimpinan secara sadar yang dilakukan oleh si pendidik
kepada si terdidik secara terus menerus terhadap perkembangan jasmanai dan
rohaninya demi terciciptanya kepribadian utama, yaitu kepribadian muslim. Dengan kata lain pendidikan merupakan usaha sungguh-sungguh yang
dilakukan oleh pendidik dalam membina dan membentuk generasi intelek sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Jika dikaitkan dengan Islam, maka pendidikan
agama islam adalah suatu usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar
nantinya setelah selesai dari pendidikan dapat memahami apa ytang terkandung di
dalam Islam secara keseluruhan, menghayati makna dan maksud serta tujuannya dan
pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan ajaran-ajaran agama Islam yang
telah dianutnya itu sebagai pandangan hidupnya sehingga dapat mendatangkan
keselamatan dunia akhiratnya kelak.
Pendidikan pada hakikatnya adalah interaksi komponen-komponen yang
esensial dalam upaya mencapai tujuan pendidikan. Perpaduan antara keharmonisan dan
keseimbangan serta interaksi unsur-unsur esensial pendidikan, pada operasional
dipandang sebagai faktor yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan.
Pendidikan Islam menurut Omar Muhammad
At-Toumi Asy-Syaibani adalah proses mengubah tingkah laku individu pada
kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya dengan cara pengajaran
sebagai suatu aktifitas asasi dan sebagai profesi diantara profesi-profesi
asasi dalam masyarakat.[2]
Dalam hal ini, pendidikan Islam mempunyai landasan atau dasar yang
baik, jelas dan kuat. Landasannya adalah “Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang dapat
dikembangkan dengan ijtihad, al maslahat mursalah, istihsan, qiyas dan
sebagainya” (Darajat, dkk., 2000:19-21).
1)
Al-Qur’an
Al-Qur’an
adalah ibu dari semua ilmu pengetahuan dan sumber dari segala sumber aturan
hidup. Dengan kata lain, Al-Qur’an berisi ajaran yang sangat universal, humanis
dan pleksibel yang mengatur seluruh proses kehidupan manusia dengan semua
pernak-pernik permasalahannnya, termasuk pendidikan di dalamnya.
Al-Qur’an secara normatif mengungkapkan lima
aspek pendidikan dalam dimensi-dimensi kehidupan manusia; yaitu pendidikan
menjaga agama, pendidikan menjaga jiwa, pendidikan menjaga akal pikiran,
pendidikan menjaga keturunan, dan pendidikan menjaga harta benda dan kehormatan.
Terkait dengan pendidikan Islam, di dalam Al-Qur’an termaktub
dengan jelas. Salah satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang pendidikan
Islam, terdapat dalam surat Asy-Syura ayat 52, yang artinya;
“Dan demikian Kami wahyukan
kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah
mengetahui apakah al kitab (Al-Qur’an} dan tidak pula mengetahui apakah iman
itu, tetapi kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya yang Kami beri petunjuk dengan
dia siapa yang yang Kamai kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalannya yang benar” (QS.
Asy Syura:52) (Depag. RI. : 791).
Dari terjemahan ayat di atas
dapat diambil titik relevansi dengan atau sebagai landasan pendidikan Islam.
Sebagaimana pendapat Zuhairini, dkk. (19993:152) mengingat;
a. Bahwa
Al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk ke arah jalan
hidup yang lurus, dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk ke arah jalan yang
di ridloi Alllah SWT.
b. Al-Qur’an
menerangkan bahwa Nabi adalah benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau
memerintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk, memberikan
bimbingan, penyuluhan dan pendidikan Islam.
Dapat disimpulkan berpegang teguh pada
Al-Qur’an merupakan kunci sukses dari semua usaha yang dilakukan oleh umat
Islam.Umat Islam harus senantiasa mengambil pelajaran dari ayat-ayat Al-Qur’an
karena Al-Qur’an berisi segudang ide-ide konstruktif bagi pembangunan
masyarakat madani. Tetapi, selama
ini umat Islam mundur karena meninggalkan Al-Qur’an. Apakah kita akan tetap
seperti ini?
2)
Sunnah
Sunnah merupakan sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an. Seperti
Al-Qur’an, Sunnah juga berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup
manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya
atau muslim yang bertakwa. Untuk itu, Rasulullah menjadi guru dan pendidik
utama. Apapun yang diajarkan oleh
Rsulullah adalah dalam rangka pembentukan manusia muslim dan masyarakat Islam
yang sejahtera di bawah ridha-Nya.
Oleh krena itu, Sunnah merupakan landasan kedua bagi pembinaan
pribadi muslim yang kokoh. Sunnah selalu membuka kemungkinan penafsiran
berkembang. Itulah sebabnya, mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam
memahaminya termasuk sunnah yang beraitan dengan pendidikan.
3. Komponen dalam Pendidikan Islam
Komponen merupakan bagian dari suatu sistem yang meiliki peran
dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai tujuan sistem.
Komponen pendidikan berarti bagian-bagian dari sistem proses pendidikan, yang
menentukan berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan.
Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk berlangsungnya proses kerja pendidikan
diperlukan keberadaan komponen-komponen tersebut[3]
a. Tujuan Pendidikan Islam
Darajat, dkk. (2000)
membagi tujuan pendidikan Islam menjadi 4 tujuan, yaitu;
a.
Tujuan
umum
Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan
pendidikan. Tujuan itu meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap,
tingkah laku, penampilan kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum ini berbeda pada
setiap tingkat umur, kecerdasan, situasi dan kondisi, dengan kerangka yang
sama. Bentuk insan kamil dengan pola takwa harus dapat tergambar pada pribadi
sesorang yang sudah dididik walaupun dalam ukuran kecil dan mutu yang rendah,
sesuai dengan tingkat-tingkat tersebut.
b.
Tujuan
akhir
Tujuan akhir ialah tujuan yang berlangsung selama hidup, maka
tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini. Tujuan umum yang
berbentuk Insan Kamil dengan pola taqwa dapat mengalami perubahan naik turun
bertambah dan berkurang dalam berjalan hidup seseorang. Perasaan, lingkungan
dan pengalaman dapat mempengaruhinya karena itulah pendidikan Islam itu berlaku
selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara, dan
mempertahankan tujuan pendidikan yang telah dicapai. Orang yang sudah taqwa
dalam bentuk insan kamil masih perlu.
b. Pendidik
Dalam kamus bahasa indonesia dinyatakan bahwa pendidik adalah orang
yang mendidik. Dalam pengertian yang lazim digunakan, pendidik adalah orang
derwasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan kepada peserta didiknya
dalam perkembangan jasmani dan rohani, agar mencapai tingkat kedewasaan mampu
mandiri dalam melakukan tugas sebagai hamba dan kholifah Allah SWT.
Guru dalam konteks pendidikan Islam “pendidik” sering
disebut dengan murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, dan mursyid. menurut
peristilahan yang dipakai dalam pendidikan dalam konteks Islam, Kelima istilah
ini mempunyai tempat tersendiri dan mempunyai tugas masing-masing.
Murabbi adalah: orang yang mendidik dan menyiapkan
peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil
kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam
sekitarnya.
Mu’allim adalah: orang yang menguasai ilmu dan mampu
mengembangkannya sertamenjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan
dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan,
internalisasi serta implementasi.
Mu’addib adalah: orang
yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun
peradaban yang berkualitas di masa depan.
Mudarris adalah: orang
yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui
pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan
peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan
sesuai dengan bakat , minat dan kemampuannya.
Mursyid adalah: orang
yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat
anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.
Dalam
melaksanakan pendidikan Islam, peranan pendidik sangat krusial. Pendidik
merupakan salah satu faktor utama terlaksananya proses pendidikan. Karena
pendidik adalah aktor yang bertanggung jawab terhadap seluruh proses yang terjadi
di dalamnmya. Atas dasar tersebut Nata dalam bukunya yang berjudul Filsafat
Pendidikan Islam (1997) berpendapat bahwa “pendidik
merupakan pelaku utama keberhasilan pendidikan. Tinggi rendahnya sumber daya
manusia sebuah bangsa sangat ditentukan oleh hasil kerja seorang guru dalam
bagaimana mengemas proses pendidikan semaksimal mungkin.”
Penghormatan dan penghargaan Islam terhadap orang-orang yang berilmu
atau pendidik itu salah satunya terbukti di dalam Al-Qur’an surat Al-Mujadalah
ayat 11, yaitu:
.{المجادلة :11}... ير فع الله الذ ينوامنكم والذين اوتواالعلم درجات
Artinya :
“Allah akan meninggikan orang-orang yang berilmu di antara kamu dan orang-orang
yang diberi pengetahuan beberapa derajat…” (QS. Al-Mujadalah:11)
Nabi
Muhammad SAW juga memposisikan pendidik di tempat yang mulia dan terhormat.
Beliau menegaskan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, sementara makna ulama
adalah orang yang berilmu. Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidik termasuk
ulama. Tegasnya, pendidik adalah pewaris para nabi. Hal ini beralasan mengingat
peran pendidik sangat menentukan dalam mendidik manusia untuk tetap konsisten
dan komitmen dalam menjalankan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Kemudian ada pula hadits yang menjelaskan bahwa kedudukan orang ‘alim itu lebih
unggul dibanding ‘abid. Juga hadits tentang pujian Nabi SAW terhadap orang yang
belajar ilmu Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain.
Syaifullah (1982)
mendasarkan pada konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang termasuk
kategori pendidik adalah
a. Orang Dewasa
Orang dewasa sebagai pendidik dilandasi oleh sifat umum kepribadian
orang dewasa , yakni:
1) manusia yang memiliki
pandangan hidup prinsip hidup yang pasti dan tetap,
2) manusia yang telah memiliki tujuan hidup atau
cita-cita hidup tertentu, termasuk cita-cita untuk mendidik,
3) manusia yang cakap mengambil keputusan batin
sendiri atau perbuatannya sendiri dan yang akan dipertanggungjawabkan sendiri,
4 ) manusia yang telah cakap
menjadi anggota masyarakat secara konstruktif dan aktif penuh inisiatif,
5) manusia yang telah mencapai umur kronologs
paling rendah 18 th, manusia berbudi
luhur dan berbadan sehat,
6) manusia yang berani dan
cakap hidup berkeluarga, dan
7) manusia yang
berkepribadian yang utuh dan bulat.
b. Orang Tua
Kedudukan orang tua sebgai pendidik, merupakan pendidik yang
kodrati dalam lingkungan keluarga. Artinya orang tua sebagai pedidik utama dan
yang pertama dan berlandaskan pada hubungan cinta-kasih bagi keluarga atau anak
yang lahir di lingkungan keluarga mereka.
c. Guru/Pendidik di Sekolah
Guru sebagai pendidik disekolah yang secara lagsung maupun tidak
langsung mendapat tugas dari orang tua atau masyarakat untuk melaksanakan
pendidikan. Karena itu kedudukan guru sebagai pendidik dituntut memenuhi
persyaratan-persyaratan baik persyaratan pribadi maupun persyaratan jabatan.
Persyaratan pribadi didasrkan pada ketentuan yang terkait dengan nilai dari
tingkah laku yang dianut, kemampuan intelektual, sikap dan emosional.
Persyaratan jabatan (profesi) terkait dengan pengetahuan yang dimiliki baik
yang berhubungan dengan pesan yangingin disampaikan maupun cara
penyampainannya, dan memiliki filsafat pendidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
d. Pemimpin Masyarakat dan
Pemimpin Keagamaan
Selain orang dewasa, orang uta dan guru, pemimpin masyarakat dan
pemimpin keagamaan merupakan pendidik juga. Peran pemimpin masyarakat menjadi
pendidik didasarkan pada aktifitas pemimpin dalam mengadakan pembinaan atau
bimbingan kepada anggota yang dipimpin. Pemimpin keagaam sebagai pendidik,
tampak pada aktifitas pembinaan atau pengembangan sifat kerokhanian manusia,
yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan.
Keberhasilan pendidik adalah pendidik akan berhasil menjalankan
tugasnya apabila memiliki beberapa kompetensi:
1. kompetensi kepribadian
2. kompetensi paedagogik
3. kompetensi profesional
4. kompetensi sosial
pendidik adalah faktor utama yang menentukan intensitas
keberhasilan pendidikan. Baik buruk hasil pendidikan tergantung pada pendidik
itu sendiri. Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati
orang-orang yang berilmu pengetahuan yang bertugas sebagai pendidik. Pendidik
mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang tidak berilmu dan
orang-orang yang bukan sebagai pendidik.
Guru juga harus berpacu dalam pembelajaran, dengan memberikan
kemudahan dalam belajar bagi seluruh peserta didik, agar dapat mengembangkan
potensinya secara optimal. Dalam hal ini guru harus kreatif, profesional dan
menyenangkan dengan memposisikan diri sebagai berikut:[4]
1) orang tua yang penuh
kasih sayang pada peserta didiknya;
2) teman, tempat mengadu dan mengutarakan
perasaan bagi para peserta didik;
3) fasilitator yang selalu
siap memberikan kemudahan dan melayani peserta didik sesui minat, kemampuan dan
bakatnya;
4) memberikan sumbangan
kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi anak dan
memberikan saran pemecahannya;
5) Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung
jawab;
6) Membiasakan peserta
didik untuk saling berhubungan (bersilaturahmi) dengan orang lain secara wajar;
7) Mengembangkan proses sosialisasi yang wajar antar peserta didik,
orang lain dan lingkungannya;
8) Mengembangkan
kreativitas;
9) Menjadi pembantu ketika diperlukan.
c.
Peserta Didik
Siswa dipandang sebagai anak yang aktif, bukan pasif yang hanya
menanti guru untuk memenuhi otaknya dengan berbagai informasi. Siswa dalah anak
yang dinamis yang secara alami ingin belajar, dan akan belajar apabila mereka
tidak merasa putus asa dalam pelajarannya yang diterima dari orang yang
berwenag atau dewasa mengarahkan kehendak dan tujuannya kepada peserta didik.
Dalam hal ini, Dewey menyebutkan bahwa anak itu sudah memiliki potensi
katif. Membicarakan pendidikan berarti membicarakan keterkaitannya aktivitasnya,
dan pemberian bimbingan kepadanya. Seimbang dengan kewajiban pendidik untuk
menyampaikan ajaran Islam, peserta didik harus menuntut ilmu, membaca dengan
nama Allah.dan Allah berjanji akan meninggikan derajat orang yang beriman dan
orang yang berilmu.[5]
Allah swt berfirman:
Artinya: dan kalau ada dua golongan dari
mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi
kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
Berlaku adil. (Q.S AL-Hujurat: 9).
Ayat di atas adalah bukti bahwa pesera didik dalm konsep Islam haruslah
aktif dan dinamis dalam berpikir, belajar, merenungkan, meneliti, mencoba,
menemukan, mengamalkan, dan menyebar luaskan aktivitasnya. Jadi, menurut
penulis bahwa peserta didik atau siswa harus aktif dalam belajar dan tidak
bersifat monoton yang mengandalkan ilmu pengetahuan yang di informasikan oleh
guru, akan tetapi peserta didik haruslah aktif mencari sendiri atau bermandiri
untuk mencari sendiri bahan pelajaran yang akan di pelajari yang sesuai dengan
silabus atau judul pembahasan. Dengan adanya
kekreatifan siswa dalam mencari sumber pembelajaran maka sifat mandiri akan
timbul pada peserta didik. Dalam mencari sumber peserta didik bisa mengambil
dari buku-buku yang berkaitan dengan suatu pelajaran, artikel-artikel ataupun
internet. Dan sebagai sarana formal yang selanjutnya adalah komponen sistem
pendidikan Islam yang pada hal ini adalah sekolah atau madrasah.
Dilihat dari segi
usia, peserta didik dapat dibagi menjadi lima tahapan antara lain:
1) Tahap Asuhan (Usia 0-2
Tahun) Atau Neonatus
Tahap ini dimulai dari sejak kelahiran sampai kira-kira dua tahun.
Pada tahap ini individu belum mempunyai kesadaran dan daya intelektual. Ia
hanya mampu menerima rangsangan yang bersifat biologis dan psikoklogis melalui
air susu ibunya. Dalam ajaran islam terdapat tradisi keagamaan yang dapat
diberlakukan kepada peserta didik antara lain dengan memberi adzan di telinga
kanan dan iqamat ditelinga kiri pada saat baru dilahirkan. Adzan dan iqamat
ibarat password untuk membuka sistem saraf rohani anak agar teringat kepada
tuhan yang pernah diikrarkan ketika berada dialam arwah. Selain itu juga
dilakukan aqiqoh sebagai tanda syukur pengorbanan dan kepedulian terhadap
bayinya.
2) Tahap Jasmani (Usia 2-12 Tahun)
Tahap ini disebut sebagai tahap kanak-kanak. Pada tahap ini anak
mulai memiliki potensi biologis dan psikologis, sehingga anak sudah mulai dapat
dibina, dilatih, dibimbing, diberikan pelajaran dan pendidikan yang disesuaikan
dengan bakat, minat dan kemampuannya.
3) Tahap Psikologis (Usia 12-20 Tahun)
Tahap ini disebut juga fase tamyiz, yaitu fase dimana anak mulai
mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, benar dan salah. Pada tahap
ini seorang anak sudah dapat dibina, dibimbing dan dididik untuk melaksanakan
tugas-tugas dan tanggung jawab.
4) Tahap Dewasa (20-30
Tahun)
Pada tahap ini seseorang tidak lagi disebut anak-anak atau remaja,
melainkan sudah disebut dewasa dalam arti yang sesungguhnya, yakni kedewasaan
secara biologis, sosial, psikologis religius dan lain sebagainya. Pada fase ini
mereka sudah memiliki kematangan dalam bertindak, bersikap dan mengambil
keputusan untuk menentukan masa depannya.
5) Tahap Bijaksana(30
Sampai Akhir Hayat)
Pada fase ini manusia telah menemukan jati dirinya. Sehingga
tindakannya sudah memiliki makna dan mengandung kebijaksanaan yang mampu member
naungan dan perlindungan bagi orang lain. Pendidikan pada tahap ini dilakukan
dengan cara mengajak mereka agar maumengamalkan ilmu, ketrampilan, pengalaman
dan harta benda untuk kepentingan masyarakat.
Di sini juga jelas bagaimana pentingnya peranan orang tua untuk
menanamkan pandangan hidup keagamaan terhadap anak didiknya. Agama anak didik
yang akan dianut semata-semata bergantung kepada pengaruh orang tua dan alam
sekitarnya. Dasar-dasar pendidikan agama ini harus sudah ditanamkan sejak anak
didik itu masih usia muda, karena kalau
tidak demikian kemungkinan akan
mengalami kesulitan kelak untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang diberikan
pada masa dewasa. Sebagaimana pendapat Zuhairini, dkk. (1995:172)
bahwa; Pendidikan Islam yang ditanamkan
pada masa dewasa atau pada masa pubertas, yaitu masa pertumbuhan mengalami
perubahan-perubahan besar terhadap fisik, masa
gelisah yang penuh pertentangan lahir batin, masa cita-cita yang
beraneka ragam, masa romantik, masa mencapai kematangan seksual, pembentukan
kepribadian dan mencari pandangan dan tujuan hidup di dunia dan di akhirat
kemungkinan akan mengalami kesulitan total.
Di samping pendapat di atas, Jalaluddin (1962)
berpendapat bahwa pendidikan agama bagi anak didik saat masa pubertas sangat
penting, karena menurut ahli psikologi, juga ahli agama, anak didik pada masa
itu mengalami kesangsian, keragu-raguan. Mereka
memang mau tidak mau cendrung kepada hal-hal ketuhanan. Mereka mencari kepercayaan,
bahkan kepercayaan yang telah tertanamkan mengalami kegoncangan.
Jika keadaan dan kondisi batin dalam masa
pubertas ini tidak mendapatkan bimbingan dan petunjuk yang sesuai dengan akal
mereka, dan kalau alam sekitar mereka menunjukkan pula kegoncangan keyakinan
atau kepalsuan amal ibadah, benarlah kemungkinan mereka tidak mendapatkan apa
yang dicarinya (kebenaran dan keluhuran Allah, keyakinan dan ketaatan). Benih
agama yang telah tumbuh kemungkinan membuat sengsara dalam hidupnya,
kepercayaan yang telah ada bisa menjadi pasif atau lenyap sama sekali. Jiwa
yang telah terisi agama menjadi kosong. Sebaliknya jiwa yang kosong, yang tak
pernah mendapat siraman agama, dapat tumbuh dengan subur jika pada masa
pubertas ini pendidikan agama ditanamkan kepadanya. Masa ini merupakan masa untuk beralih kepada keinsyafan dan
keyakinan abadi.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah :[6]
a) Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas,
sehingga merupakan insan yang unik. Maksudnya, anak sejak lahir telah memiliki
potensi-potensi yang ingin dikembangkan dan diaktualisasikan. Untuk
mengaktualisasikan membutuhkan bantuan dan bimbingan.
b) Individu yang sedang
berkembang, maksudnya perubahan yang terjadi dalam diri peserta didik secara wajar,
baik ditujukan kepada diri sendiri maupun kearah penyesuaian lingkungan.
c) Individu yang membutuhkan
bimbingan individual dan perlakuan manusiawi. Maksudnya, dalam proses
perkembangannya peserta didik membutuhkan bantuan dan bimbingan. Bayi yang baru
lahir secara badani dan hayati tidak terlepas dari ibunya seharusnya setelah ia
tumbuh berkembang menjadi dewasa ia sudah dapat hidup sendiri. Tetapi
kenyataannya untuk kebutuhan perkembangan hidupnya, ia masih menggantungkan
diri sepenuhnya kepada orang dewasa, sepanjang ia belum dewasa. Hal ini
menunjukkan bahwa pada diri peserta didik ada dua hal yang menggejala ;
1) Keadaannya yang tidak
berdaya menyebabkan ia membutuhkan bantuan. Hal ini menimbulkan kewajiban orang
tua untuk membantunya.
2) Adanya kemampuan untuk
mengembangkan dirinya, hal ini membutuhkan bimbingan. Orang tua berkewajiban
untuk membimbingnya. Agar bantuan dan bimbingan itu mencapai hasil maka harus
disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.
d) Individu yang memiliki
kemampuan untuk mandiri. Maksudnya dalam perkembangan peserta didik ia
mempunyai kemampuan untuk berkembang kearah kedewasaan. Pada diri anak ada
kecenderungan untuk memerdekakan diri. Hal ini menimbulkan kewajiban pendidik
dan orang tua ( si pendidik) untuk setapak demi setapak memberikan kebebasan
dan pada akhirnya mengundurkan diri. Jadi, pendidik tidak boleh memaksakan agar
peserta didik berbuat menurut pola yang dikehendaki pendidik. Ini dimaksud agar
peserta didik memperoleh kesempatan memerdekakan diri dan bertanggung jawab
sesuai dengan kepribadiannya sendiri dan bertanggung jawab sendiri.[7]
Pendidikan peserta didik harus memenuhi 3 persyaratan sebagai
berikut:
a. Dimensi kognitif,
kemampuan anak untuk menyerap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Hal ini berhubugan
dengan kemampuan intelektual dan taraf kecerdasan anak didik.
b. Dimensi afektif,
kemampuan anak untuk merasakan dan menghayati apa-apa yang diajarkan, yang
telah diperolehnya dari aspek kognitif, sehingga timbullah motivasi untuk
mengamalkan atau melakukan apa-apa yang tekah dimilikinya itu.
c. Dimensi psikomotor, kemampuan anak didik untuk
merubah sikap dan perilaku sesuai dengan ilmu yang dipelajari (aspek kognitif)
dan ilmu yang telah dihayatinya (aspek afektif).[8]
Seorang pelajar atau anak didik, yang ingin
mendapatkan ilmu itu memerlukan bimbingan, pengarahan dan petunjuk dan guru,
maka muncul pula etika pergaulan yang baik yang harus dilakukan oleh seorang
murid kepada gurunya. Selain
membutuhkan bantuan guru, seorang anak didik yang sedang belajar juga
memerlukan kawan tempat mereka berbagi rasa dan belajar bersama.[9]
Anak didik merupakan komponen yang dijadikan
dasar untuk melakukan kegiatan pendidikan dan pengajaran bahkan untuk mencapai
tujuan yang maksimal haruslah memperhatikan komponen ini. Artinya anak didik adalah komponen manusia yang menempati posisi
sentral dalam proses pendidikan.
d. Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan meliputi segala segi kehidupan atau
kebudayaan. Halini didasarkan pada pendapat bahwa pendidikan sebagai gejala
kebudayaan,yang tidak membatasi pendidikan pada sekolah saja.Lingkungan
pendidikan merupakan lingkungan tempat berlangsungnya proses pendidikan yang
merupakan bagian dari lingkungan sosial. Lingkungan pendidikan dibagi menjadi
tiga yaitu:
1.
Lingkungan
keluarga
Pendidikan Dilingkunagn Keluarga Keluarga adalah lingkungan pertama
bagi anak. Disinilah pertama kali ia mengenal nilaidan norma. Karena itu
keluarga merupakan pendidikan tertua, yang bersifat informal dan kodrati.Pendidikan
dilingkungan keluarga berfungsi untuk memberikan dasar dalam menumbuhkembangkan
anak sebagai makhluk individu, sosial, susila dan religius.
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama
karena manusia pertama kalinya memperoleh pendidikan di lingkungan ini sebelum
mengenal lingkungan yang lain. Selain itu manusia mengalami proses pendidikan
sejak lahir bahkan sejak dalam kandungan. Pendidikan keluarga dapat dibagi
menjadi dua yaitu:
·
pendidikan
prenatal (pendidikan dalam kandungan)
·
pendidikan
postnatal (pendidikan setelah lahir)
Dasar tanggung jawab keluarga terhadap pendidikan meliputi:
·
Motivasi
cinta kasih yang menjiwai hubungan orangtua dengan anaknya.
·
Motivasi
kewajiban moral orangtua terhadap anak.
·
Tanggung
jawab sosial sebagai bagian dari keluarga.
2.
Lingkungan
sekolah
Pendidikan Dilingkungan Sekolah adalah lingkungan kedua bagi anak.
Disinilah potensi anak akan ditumbuhkembangkan. Sekolah merupakan tumpuan dan
harapan orang tua, masyarakat, dalammencerdaskan kehidupan bangsa. Tugas
sekolah sangat penting dalam menyiapkan anak-anakuntuk kehidupan masyarakat.
Sekolah bukan semata-mata sebagai konsumen, tetapi juga sebagaiprodusen dan
pemberi jasa yang sangat erat hubungannya dengan pembangunan.
Jenis pendidikan sekolah adalah jenis pendidikan yang berjenjang,
berstruktur danberkesinambungan, sampai dengan pendidikan tinggi. Jenis
pendidikan sekolah mencakuppendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan
kedinasan, pendidikan keagaman, danpendidikan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Karena perkembangan peradaban manusia, orang tidak mampu lagi untuk
mendidik anaknya. Pada masyarakat yang semakin komplek, anak perlu persiapan
khusus untuk mencapai masa dewasa. Persiapan ini perlu waktu, tempat dan proses
yang khusus. Dengan demikian orang perlu lembaga tertentu untuk menggantikan
sebagian fungsinya sebagai pendidik. Lembaga ini disebut sekolah.
Dasar tanggung jawab sekolah akan pendidikan meliputi:
·
Tanggung
jawab formal kelembagaan
·
Tanggung
jawab keilmuan
·
Tanggung
jawab fungsional
3.
Lingkungan
masyarakat
Masyarakat merupakan kelompok sosial terbesar dalam suatu negara.
Selain di dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah, pendidikan juga
dapat berlangsung di dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan di dalam
lingkungan masyarakat tentunya berbeda dengan pendidikan yang terjadi pada
lingkungan keluarga dan sekolah. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu
dalam suatu kelompok masyarakat tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan
yang lainnya dalam sebuah mata rantai kehidupan.
Pendidikan Dilingkungan Masyarakat Masyarakat adalah salah satu
lingkungan pendidikan yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi
seseorang. Pandangan hidup, cita-cita bangsa, sosial budaya danperkembangan
ilmu pengetahuan akan mewarnai keadaan masyarakat tersebut. Masyarakat
mempunyai peranan yang penting dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Melalui pendidikan dimasyarakat anak akan dibekali dengan penalaran dan
keterampilan, sering juga pendidikan dimasyarakat ini dijadikan upaya
mengoptimalkanperkembangan diri.
e. Materi Pendidikan
Materi
pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan tujuan pendidikan. Untuk mencapai
tujuan pendidikan perlu disampaikan kepada peserta didik isi/bahan yang
biasanya disebut kurikulum dalam pendidikan formal. Isi pendidikan berkaitan
dengan tujuan pendidikan, dan berkaitan dengan manusia ideal yang
dicita-citakan.
Untuk mencapai manusia yang ideal yang berkembang keseluruhan
sosial, susila dan individu sebagai hakikat manusia perlu diisi dengan bahan pendidikan.
Macam-macam isi pendidikan tersebut terdiri dari pendidikan agama. pendidikan
moril, pendidikan estetis, pendidikan sosial, pendidikan civic, pendidikan
intelektual, pendidikan keterampilan dan peindidikan jasmani.[10]
Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam
kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini
meliputi materi inti maupun materi local, materi inti bersifat nasional yang
mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa. Sedangkan muatan lokal
misinya adalah mengembangkan kebinekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi
lingkungan. Dengan demikian jiwa dan semangat Bhinneka Tunggal Ika dapat
ditumbuh kembangkan.[11]
Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas
dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di
atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme,
essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal
yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan
sistematis dalam bentuk :
1. Teori; seperangkat
konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang
menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan –
hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan
gejala tersebut.
2. Konsep; suatu abstraksi
yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi
singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
3. Generalisasi; kesimpulan
umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau
pembuktian dalam penelitian.
4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang
mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
5. Prosedur; yaitu seri
langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan
peserta didik.
6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap
penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
7. Istilah, kata-kata
perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
8. Contoh/ilustrasi, yaitu
hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian
atau pendapat.
9. Definisi:yaitu penjelasan
tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi
pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme
lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh
karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh
peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat
konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk
tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang
krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi
pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari
disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang
esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi
pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau
sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Abdurrahman Saleh Abdulllah
mengkategorikan materi kurikulum pendidikan islam kepada tiga kategori:[12]
1. Materi pelajaran yang
dikaitkan dengan al-Qur’an dan hadits
2. Materi yang dikaitkan
dengan bidang ilmu pengetahuan yang termasuk kedalam isi kurikulum pendidikan
islam adalah tentang ilmu kemanusiaan meliputi: psikologi, sosiologi, sejarah
dan lain-lain.
3. Materi yang dikaitkan
dengan ilmu kealaman termasuk dalam kategori ini fisika, biologi, botani,
astronomi, dan lain-lain.
Lester D. Crow dan Alice Crow yang melakukan penelitian tentang hasil study
terhadap anak menyarankan hubungan salah satu komponen pendidikan, yaitu
kurikulum dengan anak didik adalah sebagai berikut:
1. Kurikulum hendaknya
disesuaikan dengan keadaan perkembangan anak.
2. Isi kurikulum hendaknya
mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat digunakan anak dalam
pengalaman nya sekarang dan berguna untuk menghadapi kebutuhannya dimasa yang
akan datang.
3. Anak hendaknya didorong
untuk belaar, karena kegiatannya sendiridan tidak sekedar menerima pasif apa
yang dilakukan oleh guru.
4. Materi yang dipelajari
anak harus mengikuti minat dan keinginan anak sesuai dengan taraf
perkembangannya dan bukan menurut keputusan orang dewasa tentang minat mereka.[13]
f. Metode Pendidikan
Metode dimaksudkan sebagai jalan dalam sebuah transfer nilai
pendidikan oleh pendidik kepada peserta didik. Oleh karena itu pemakaian metode
dalam pendidikan Islam mutlak dibutuhkan.
Keberhasilan proses pendidikan dalam mengantarkan anak didik
mencapai tujuan pendidikan tidak terlepas dari peranan metode yang digunakan.
Metode secara harfiah, berasal dari bahasa yunani yaitu kata depan meta dan
kata benda “hodos”. Kata “meta” berarti “menuju, melalui, mengikuti”. Dan kata
“hodos” berarti “cara, jalan dan arah”.[14]
Menurut istilah, metode adalah cara berfikir menurut sistem
tertentu. Runesa menjelaskan, metode adalah prosedur yang dipakai untuk
mencapai tujuan tertentu. Dari dua pendapat tersebut, disimpulkan bahwa metode
adalah cara atau prosedur yang digunakan dalam suatu kegiatan untuk mencapai
tujuan yang optimal.
Menurut Nur Uhbiyati metode
pendidikan yaitu strategi yang relevan yang dilakukan oleh pendidik untuk
menyampaikan materi pendidikan kepada anak didik. Metode berfungsi mengolah,
menyusun, dan menyajikan materi pendidikan agar materi pendidikan tersebut
dapat dengan mudah diterima dan dimiliki oleh anak didik.[15]
Dalam dunia pendidikan, istilah metode secara sederhana berarti
cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan
pendidikan. Dalam pendidikan islam metode pendidikan disebut dengan istilah
tariqatut tarbiyah dan tariqatut ta’dib.
Para ahli pendidikan mendefinisikan berbagai pengertian metode sebagai
berikut:
a. Hasan Langgulung
mendefinisikan metode sebagai cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai
tujuan.
b. Abdul Rahman Ghunaimah
mendefinisikan metode sebagai cara-cara praktis dalam mencapai tujuan
pendidikan.
c. Al-Abrasyi
mendefinisikan metode sebagai jalan yang diikuti untuk memberikan pengertian kepada
anak didik tentang segala macam materi dalam berbagai pelajaran.
Dalam proses pendidikan metode mempunyai kedudukan sangat penting
guna mencapai tujuan pendidikan. Metode merupakan sarana yang memaknakan materi
pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan sedemikian rupa sehingga
dapat dipahami atau diserap oleh anak didik menjadi pengertian-pengertian
fungsional terhadap tingkah lakunya.
Metode pendidikan yang tidak tepat akan menjadi penghalang
kelancaran jalannya proses belajar mengajar. Metode yang di pergunakan guru
baru dikatakan berhasil apabila dalam proses pendidikan ia dapat mengantarkan
anak didik kearah tujuan yang ditetapkan
g. Media/sarana Pembelajaran
Sarana atau media pendidikan berguna untuk membantu dalam proses
pendidikan sehingga sesuai dengan apa yang diharapkan.
Media pengajaran merupakan bagian integral dalam sistem pengajaran.
Banyak macam media dapat dgunakan. Penggunaan melputi manfaat yang banyak pula.
Penggunaan media harus didasarkan kepada pemilhan yang tepat. Sehingga dapat
memperbesar arti dan fungsi dalam menunjang efektivitas dan efisiensi proses
belajar mengajar[16].
media
pendidikan yaitu segala sesuatu yang digunakan oleh pelaksana kegiatan
pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan islam. Secara garis besar, ada dua
macam alat pendidikan yaitu:
1. Alat fisik, berupa
segala sesuatu perlengkapan pendidikan yakni sarana dan fasilitas dalam bentuk
konkrit, seperti bangunan, alat-alat tulis dan baca, dan sebagainya.
2. Alat nonfisik, berupa
kurikulum, pendekatan, metode, dan tindakan yang berupa hadiah dan hukuman,
serta “uswatun hasanah” dari pendidik.
Sarana atau media pendidikan berguna untuk membantu dalam proses
pendidikan sehingga sesuai dengan apa yang diharapkan. Metode dimaksudkan
sebagai jalan dalam sebuah transfer nilai pendidikan oleh pendidik kepada
peserta didik. Oleh karena itu pemakaian metode dalam pendidikan Islam mutlak
dibutuhkan.
Sarana/Alat melihat jenisnya sedangkan metode
melihat efisiensi dan efektivitasnya. alat dan metode diartikan sebagai segala
sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan
pendidikan. Alat pendidikan dibedakan atas yang
preventif dan yang kuratif.
1) Yang bersifat preventif,
yaitu yang bermaksud mencegah terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki
misalnya larangan, pembatasan, peringatan bahkan juga hukuman.
2) Yang bersifat kuratif,
yaitu yang bermaksud memperbaiki, misalnya ajakan contoh,nasihat, dorongan,
pemberian kepercayaan, saran, penjelasan, bahkan juga hukuman.
3) Untuk memilih dan
menggunakan alat pendidikan yang efektif ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu ;
- Kesesuaiannya dengan
tujuan yang ingin dicapai
- Kesesuaiannya dengan
peserta didik.[17]
h. Evaluasi
Menurut Nur Uhbiyati Evaluasi Pendidikan adalah sistem
penilaian yang diterapkan kepada anak didik, untuk mengetahui keberhasilan
pendidikan yang dilaksanakan. Evaluasi pendidikan bergantung pada tujuan
pendidikan. Jika tujuannya membentuk anak didik yang kreatif, cerdas, beriman
dan bertaqwa, sistem evaluasi yang dioperasionalkan pun mengarah pada tujuan
yang dimaksudkan. Dengan demikian pendidikan yang dilaksanakan akan memberikan
hasil yang aplikatif bagi kehidupan anak didik dan manfaat yang besar pada masa
depan.
Evaluasi pendidikan juga memuat cara-cara bagaimana mengadakan
evaluasi atau penilaian terhadap hasil belajar anak didik. Tujuan pendidikan
islam umumnya tidak dapat dicapai sekaligus melainkan melalui proses. Oleh
karena itu untuk mencapai tujuan pendidikan islam seringkali dilakukan evaluasi
atau penilaian pada tahap atau fase ini telah tercapai kemudian dapat
dilanjutkan dengan pelaksanaan pendidikan pada tahap berikutnya, dan berakhir
pada kepribadian muslim.[18]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Komponen
pendidikan berarti bagian-bagian dari sistem proses pendidikan, yang menentukan
berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan. Bahkan dapat
dikatakan bahwa untuk berlangsungnya proses kerja pendidikan diperlukan
keberadaan komponen-komponen tersebut. karena apabila salah satu di antara ketiga
komponen ini ada maka proses pendidikan Islam tidak dapat berjalan, berbagai
komponen atau aspek tersebut antara lain: Pendidik, peserta didik, lingkungan
pendidikan, materi pembelajaran, metode pendidikan dan kurikulum pendidikan.
Menurut
system penerapan pendidikan islam yang
seharusnya adalah suatu keseluruhan yang
terdiri dari komponen-komponen yang
masing- masing bekerja sendiri dalam fungsinya. Bekaitan dengan itu dari
komponen lainnya yang secara terpadu bergerak menuju kearah saru
tujuan yang telah di tetapkan. Islam
memandang manusia secara totalitas, mendekatinya atas dasar apa yang terdapat
dalam dirinnya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah kepadanya.
B. Saran
Dari
pembahasan makalah diatas, sudah selayaknya lembaga pendidikan islam bisa
mengaplikasikan sistem pendidikan islam dalam proses pendidikan, sehingga kelak
akan memunculkan generasi-generasi yang memiliki kecerdasan intelektual dan
spiritual.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad
Ali, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2008),
hal. 88
Ibid.
Udin
Syaefudin dan Abin Syamsudin Makmun,
Perencanaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2005), hal.51.
Bukhari
Umar, IlmuPendidikan Islam, (Jakarta: Amzah,2010), hal.26-27.
E.
Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 36
Abd.
Rachman Assegaf, Op. Cit., hal. 113
http://m-arif-am.blogspot.com/2010/10/unsur-unsur-pendidikan.html.
Dadang
Hawari, Our Children Our Future Dimensi Psikoreligi Pada Tumbuh Kembang Anak
dan Remaja, (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007), hal.
3-4
Abudin
Nata, Op.Cit, hal. 81
Abu
Ahmadi dan Nur Uhbiyati. 2001.lmu Pendidikan.jakarta.PT.Rineka Cipta.hlm.43.
http://m-arif-am.blogspot.com/2010/10/unsur-unsur-pendidikan.html.
Muhammad
Syaifudin, Op Cit, hal.85.
Ibid.
Mahmud,
Op Cit, hal.109.
Tatang
S, Op Cit, hal.56.
Muhammad
Ali, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2008),
hal. 88
[1] Udin Syaefudin dan Abin Syamsudin Makmun, Perencanaan Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya,2005), hal.51.
[4] E. Mulyasa,
Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 36
[8] Dadang Hawari, Our Children Our Future Dimensi
Psikoreligi Pada Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, (Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007), hal. 3-4
[13]Ibid.
[16] Muhammad Ali, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar,
(Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2008), hal. 88
Komentar
Posting Komentar